Minggu, 22 September 2013

Si Noni Jembatan Musi II



Sudah puluhan tahun terdengar kisah keangkeran Jembatan Musi II Palembang. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut disebutkan bahwa di jembatan yang membelah Sungai Musi daerah Tanggo buntung itu ada hantu wanita berrambut pirang yang cantik jelita. Hantu yang dipanggil Noni itu, kata mereka yang percaya, konon menghuni Jembatan Musi II sejak jembatan itu dibangun tahun 80-an silam. Kabarnya, orang yang pertama kali bertemu hantu itu adalah Kasim bin Hairul, kuli bangunan yang kala itu sedang buang hajat di lokasi bangunan. Berita ini menyebar pada tahun l987, saat pondasi jembatan sedang dikerjakan. Habis buang hajat, Kasim bertemu wanita cantik yang mengaku bernama Noni. Setelah Kasim mencumbui Noni, Kasim lalu di dorong Noni ke Sungai Musi dan mati tenggelam. Sedangkan temannya, Rosihan, saksi mata peristiwa itu, kini setengah gila dan tinggal di Tebing gerinting, 40 kilometer sebelah tenggara kota Pelembang.
Selanjutnya, peristiwa mengerikan terus menerus terjadi di jembatan itu. Empat pria pemabukan yang baru saja pulang dari Bar Talang semut Music Longue melihat Noni di pagar jembatan sambil merokok. Melihat ada perumpuan cantik sendirian tengah malam di jembatan yang jauh dari perumahan penduduk, Hardi yang sedang menyetir, spontan memberhentikan kendaraan. Peristiwa itu berlangsung pada malam Selasan Pon Desember 2000. Karena tidak tahu adanya cerita hantu jelita di jembatan itu, maka di malam yang na’as tersebut keempat lajang pemabukan itu memberhentikan mobilnya dan mendekati Noni. Kecantikan Noni sungguh menyilaukan mereka. Maka itu, dua dari empat pemuda itu nekat memeluk dan mencumbui Noni di dalam Toyota Kijang mereka. Sedangkan yang dua lagi, menunggu sambil merokok di bibir jembatan. Habis bercumbu, dengan tenaga yang superkuat Noni menyeret kaki kedua lajang itu dan menceburkannya ke dasar sungai. Tiga hari kemudian mayat dua laki-laki itu ditemukan 900 meter dari lokasi kejadian.
Suasana berubah mencekik kesunyian malam, semua terdiam membisu selesai mendengar cerita Wak Biyah. Wanita paruh bayah ini mengulas kembali peristiwa angker Jembatan Musi II yang terletak 2 Kilometer dari Rumahnya. Kami mulanya hanya ingin bertamu kerumah Wak Biyah karena harus menyampaikan amanat dari Abah (Ayah), kini sepertinya harus berfikir satu juta kali untuk pulang kerumah malam ini. Mengingat hari makin larut malam dan jalan arah pulang harus melewati Jembatan Musi II. Kak Dika, Mulim dan Aku terpaksa mengurungkan niat kami untuk pulang. Apalagi ini malam jum'at kliwon membuat parno keadaan. "Kak, aku nak pipis," ucapku memelas. "Yo sudah sano kebelakang," perintah kak Dika. Aku mengembungkan pipiku lalu pergi kebelakang, tentu saja aku melapor padanya karena takut untuk pergi sendiri, hingga aku terpaksa memberanikan diri. Toilet Wak Biyah masih terbilang tradisional, dindingnya terbuat dari potongan bambu yang kerap disebut jamban karena letaknya yang lumayan jauh tepat dibibir sungai, aku harus melewati jembatan kecil terbuat dari kepingan papan agar bisa sampai ke jamban itu. Jamban yang tidak tertutup atap itu membuat pemandangan Jembatan Musi II terlihat jelas dari sini, sebenarnya aku ketakutan melirik Jembatan Musi II setelah menyimak kisah Wak Biyah beberapa menit yang lalu, namun kusingkirkan rasa itu sejauh mungkin. Selesai aku buang air kecil, aku segera bergegas kembali masuk Rumah Wak Biyah. Ketika baru setengah perjalanan ada seseorang berseru memanggil namaku dengan nada lirih "Lea..." spontan aku menyauti panggilan itu "Iya..." ucapku sembari menoleh kebelakang dan tidak ada siapapun hanya ada hamparan sungai musi yang terombang-ambing oleh arus. "Wak,,,!!" teriakku saat tiba di Rumah Wak Biyah. "Ngapo, Le?" tanya wak Biyah. "Tadi, uwak manggil aku dak?" tanyaku kembali. "Idak..." tegas Wak Biyah. "Nah, kau Le... Antu banyu kalu yang manggil kau," sahut Mulim. “Huss, jangan galak baseng ngomong!!” ucap Wak Biyah. “Iyo, kau itu nah antu banyunyo Lim,” ledekku kesal pada Mulim. “Makonyo kalo ado wong manggil tu, jangan langsong disauti. Tungguke tigo kali baru nyaut,” Kak Dika ikut berkomentar.
Pada saat yang lain terlelap tidur, mataku masih saja terbuka sempurna. Biasanya aku sudah bermimpi jam segini, tapi tidak untuk malam ini. Kenapa aku sangat penasaran dengan suara lirih yang memanggilku tadi, apa hantu Noni itu benar nyata atau hanya fiktif belaka. Tetapi keadaan Jembatan Musi II memang sunyi tanpa seorangpun yang lewat, semua terlihat jelas dari jendela Rumah Wak Biyah. Aku masih saja menatap Jembatan Musi II yang penuh dengan kemistisan itu, dari balik jendela aku melihat seseorang pejalan kaki berjalan menuju Jembatan Musi II dan sepertinya aku mengenali baju yang dikenakan oleh orang itu. “Oh, tidak…” aku memang kenal, itu Mulim. Aku berlari keluar dan mengejar Mulim yang terus berjalan menuju Jembatan Musi II, entah apa yang ingin Mulim lakukan. “Mulim…” aku berteriak sekuat mungkin namun tak juga Mulim berhenti atupun menoleh. Aku masih berlari mengejar Mulim, tiba-tiba langkahku terhenti dikejutkan oleh sosok perempuan berrambut pirang, berbaju merah sedang berdiri dibibir Jembatan Musi II “Oh Tuhan, perempuan itu pastilah hantu Noni yang diceritakan Wak Biyah,” gumamku dengan nyali menciut. Kaki dan tanganku tak lagi bisa bergerak, rasa takut akan sosok itu telah melumpuhkan sendi-sendiku. Sedangkan Mulim masih saja berjalan lurus seperti orang terhipnotis bahkan Mulim mengabaikan teriakkanku yang memanggil namamya, mungkin akibat pengaruh hantu Noni. Dan sosok mahluk gaib itu masih saja tetap berdiri dipagar Jembatan dan mentapa kedepan, dengan begitu artinya mata hantu itu tidak mengarahku yang sedang ketakutan. Sementara itu, tidak ada satupun kendaraan yang lewat malam ini, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Jembatan ini memang ditakuti dan jarang sekali orang memilih melewati jalur Musi II ketika ditengah malam.
Sekitar pukul 00.45 dinihari, tiba-tiba sosok hantu Noni menghilang dan aku mulai mampu menggerakkan tangan lalu mengucek-ngucek mataku meyakinkan bahwa mahluk itu sudah pergi dan tak lagi di Jembatan itu. Aku kembali mengejar Mulim, ternyata Mulim sedang mengigau tidur sambil berjalan. Aku menampar-nampar muka Mulim bertujuan agar ia terbangun . “Lim, bangun Lim… Lim, bangun…!!” dan itu berhasil membuat Mulim terbangun. “Le, ngapoi aku disini?” tanya Mulim heran. “Kau tu tedok bejalan tau dak,” ucapku kesal. “Aiih, dak kado Le, sejauh ini?” tambahnya. “Kendak kau Lim, aku nak balek ngantok. Kalo kau nak tedok sini lajulah, itu nah minta rewangi Noni!!” aku menunjuk kearah dimana hantu Noni berdiri beberapa menit yang lalu. Aku dan Mulim menoleh bersamaan melihat sosok perempuan berambut pirang dan berbaju merah itu sambil tersenyum kemudian melambaikan tangannya. “Aaaaaagggrrrrrttttttt……!!!!!!!!!!” aku dan Mulim berteriak lalu berlari terbirit-birit.
Hantu Noni yang merupakan keturunan Belanda ini konon bernama asli Elisse Edwind Rikkar Van Eindhven itu tewas pada tahun 1930-an akibat perkosaan dan pembunuhan misterius saat Ayahnya bertugas sebagai kepala perkebunan di Gwauran, bagian timur Palembang. Hingga sekarang Elisse yang disebut warga setempat bernama Noni, selalu muncul dimalam jum’at kliwon dan malam selasa pon. Noni akan muncul dengan rambut panjang berwarna pirang dan baju merah.

Tidak ada komentar: