Aku
mulai merasakan tubuhku melambung, begitu ringan bagai helaian kapas. Entah
kemana angin akan membawaku dan semua sudut terlihat bersinar, kini aku melihat
sosok perempuan yang wajahnya sangat kukenal. Wanita yang seringkali mencium
keningku saat aku terlelap, ya... Itu Mama, beliau sangat cantik dengan balutan
busana putih ditubuhnya dan penutup kepala berwarna senada. Mama tersenyum
padaku, Mama membentangkan kedua lengannya untukku. Seakan memberi isyarat agar
aku mendekat padanya. Aku harus berlari sekuat tenaga hingga jatuh kepelukan
Mama dan tak ingin lepas lagi untuk selamanya tapi...
"Keyraaaa.... !!" sebuah suara melintas "Itu Dika! Astaga Dika.
Mengapa dia disini? Bukankah dia? Apa Dika sudah bisa melihat sekarang? Kalau
benar begitu, syukurlah". Aku hanya tersenyum bahagia melihat Dika, lalu
aku berlari menghampiri Mama. Dan semakin lama, aku semakin melambung tinggi.
Dari kejauhan aku masih melihat Dika duduk sambil menatapi lantai. Aku juga
masih sempat melihat Dika berteriak, namun aku tak bisa mendengar apa yang
diteriakkannya.
Senja
berganti, malam yang hening. Terdengar jelas suara bening, mata berbinar air
hujan menetes. Kering harapan menepi tergores...
Aku
masih saja menulis sajak tentangnya didiary kesayanganku. Tiba-tiba nada dering
ponselku mengacaukan kosentrasiku, sebuah message muncul dilayar .
Sender : Rubi
Keyra, buruan! Kita udah garing nunggui lo! Aku menepuk jidatku yang tidak ada
nyamuknya, "ya Tuhan, aku lupa ada janji ketemuan sama anak-anak!"
ucapku. Dengan cepat segera ku goyangkan jemari untuk mereply message dari Rubi.
To : Rubi
Ok! Bentar ya! Gue lagi on the way.
Lalu
kupencet tombol send yang ada dihandphoneku. Yupz... Bener banget aku
lagi on the way sekarang, maksudnya on the way go to bathroom. Aku sengaja
berdusta agar semuanya tidak melemparkan senyum masam kepadaku nantinya. Aku
bergegas menguyur tubuhku, menyusul dengan memakai pakaian seadanya. Sedikit
menaburkan bedak diwajahku dan mengoleskan lip
gloss dibibirku. Dengan langkah memburu, aku melesat secepat kilat. "Guys,
maaf banget ya! Gue...", seketika aku terdiam. Aku tidak kuasa meneruskan
ucapanku karena mereka memperluas ruas bola mata masing-masing dan tanpa henti
melotot padaku, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Aku hanya nyengir lima
jari "Gu.. Gu..e.. Itu...tadi...anu.. Ehm...!!" suasana masih
terlihat beku, mereka masih saja menatapku dengan bengisnya, "Ah...
Kalian! Bercanda deh. Nggak lucu tahu. Hayukk deh, kita cap-cus! Ntar kagak dapet
tempat yang paling....." "Keyraaa.....!!" teriak mereka
serentak, Jeduaarrr!!! Oh... Tidak matilah aku. "Iya, iya...!! Maaf, tadi
gue baru nulis diary terus lupa.
Yaah, lo semua pada tahu dong, subject
didiary gue. Pastinya Dika". "Makan
itu Dika!" Rubi menoyor kepalaku dengan gaya super tomboynya, berlalu dari
hadapanku. "Otak lo isinya Dika mulu ya?" Vina yang jutek ikut
menimpali, "Haluw! nona stress, segitu pentingnya Dika lagi Dika
lagi?" Mily yang centil tidak ingin ketinggalan memojokkanku. Aku
memonyongkan bibirku yang kini mengekor dibelakang mereka menuju festival band di taman kota.
Selesai
menyaksikan festival band yang sangat
membosankan itu, aku dan yang lain melanjutkan hangout menuju pertandingan basket antar kampus. Senangnya kali ini
aku dapat melihat wajahnya yang indo berlaga dilapangan. Ya, Dika merupakan
captain basket tersohor dikampus. "Astaga...!! My prince, My honey bunny sweaty, My soulmate, My love and everything!!"
Aku berdecak kagum saat melihat Dika keluar memasuki arena pertandingan sambil
men-driblle bola basket dengan
kerennya.
"Keyraaaa.... !!" Rubi, Vina, dan Mily berteriak sembari menolehkan
pandangannya kearahku agar aku mampu bersikap manis sehingga tidak terkesan
norak atau malu-maluin. Hah,, aku menyesal harus menyaksikan pertandingan ini
bersama mereka yang sudah jelas tidak menyukai Dika, sejak tahu aku mulai jatuh
hati dan memutuskan untuk menambatkan hatiku padanya. Bagaimana tidak,
perawakan tinggi dengan motor sport yang senantiasa berada disampingnya,
ditambah lagi statusnya sebagai atlet basket, tidak mengherankan kalau Dika
adalah Most Wonted dikampus. Jadi,
banyak banget wanita yang antri mau jadi pacarnya. Termasuk aku! Hehe... Tapi,
sayangnya diantara jutaan wanita hanya aku yang tidak pernah dihiraukannya.
Entah karena dia tak tahu perasaanku yang sudah terlalu lama terpendam ini atau
karena dia tak akan pernah sudi dekat denganku. Aku yang tak cantik, tak menarik,
dan tak populer sepertinya. Meskipun begitu, aku belum juga lelah untuk
menantinya. Entah karena apa aku mencintai dan menantinya, padahal aku sadar
bahwa aku hanya bisa bermimpi untuk bersamanya. Namun, mencintainya adalah hal
terindah dalam hidupku. Semua sahabatku telah muak mendengar celotehanku
tentang Dika, mereka selalu memalingkan wajah dan pura-pura sibuk atau
mencari-cari alasan untuk menghindar.
Aku tak hentinya selalu mengingatmu, mencuri pandangan untuk melihat senyummu.
Tapi, terkadang aku lelah harus terus menjadi bayangan dimatamu, atau menjadi
penghalang langkahmu. Anganku melayang mengetuk gerbang cintanya. Namun tetap
saja tertutup....
Hahh,
aku masih saja menulis sajak-sajak kelabu tentangnya, berharap susunan kata ini
sampai kepelupuk matanya hingga merasuk kedalam lubuk hatinya. Dering handphone seketika membuyarkan
lamunanku, aku melirik layar handphone
dan tertera sebuah nama yang sangat kukenal.
"Mily...", dengan malas aku memencet tombol hijau dihandphone.
"Halo
!"
"Key, temeni gue yukz !"
"Kemana
?"
"Salon
!"
"Gue
males ah! Ajak yang lain aja deh!"
"Aduh...!
Rubi latihan karate. Vina ada les balet, lo ngak lagi sibukkan ?"
"Gue....mau....
Emmm....itu...." sial sekali, aku tak memiliki ide untuk menolak.
"Gue
ngak mau tau pokoknya lo, gue tunggu ditaman komplek"
Tut...
Tut... Tut…
Aku
beranjak dengan malas, lalu bergegas mengganti baju. Aku mengenakan blus
bercorak bunga hijau tosca dan jeans biru tua, aku segera mengambil kunci
motorku dan menuju taman komplek. Mily telah sampai saat aku datang lalu
menghampiriku dan kita langsung menuju salon langganannya. Aku memarkirkan
motor matic kesayanganku didepan
salon, dan mengikuti langkah sahabatku yang amat centil itu. Aku tercengang
mendapati seseorang sedang duduk diruang tunggu, aku menghampiri lalu duduk
disampingnya dan seketika dia menolehku dengan melemparkan senyuman manis.
Jantungku berdetak kencang, aliran darahku berdesir cepat. "Ya Tuhan..
Mimpi apa aku semalam! Indah sekali senyumnya". Monologku dihati, sambil
cengar-cengir kuda nil. Tak beberapa lama seorang wanita cantik datang
menghampiri kami, dan aku mengenali sosok itu. Aku mencoba menerka, untuk
memutar memoriku.
"Kinan.... !" teriakku., menunjuk seseorang hingga membuat wanita itu
dan juga Dika menoleh secara bersamaan kearahku.
"Siapa
ya ?"
"Gue...
Keyra, lupa ya?"
"Oh..
Keyra! Apa kabar?" dan kami berpelukan,
"Baik,
lo kemana aja Kin? Gue kangen tahu"
"Maaf,
gue pindah ngak sempet pamit"
"Eh,
sama siapa kesini Kin?"
"Oia,
kenalin nih, Dika ! Tunangan gue"
Jeduuuaaaaarrr........!!!!
"O....!"
Hanya
itu kata yang keluar dari mulutku. Tunangan, sejak kapan Dika telah tunangan.
Tidak ada kabar apapun dikampus jika Dika telah tunangan, apa hanya aku
satu-satunya orang yang tidak mengetahui kalau Dika memang telah tunangan.
Sakit sekali pernyataan itu, hingga hatiku seketika terasa nyeri. Dan
sepertinya Dika terlihat sangat buru-buru, lalu mereka berbincang dengan
mesranya. "Keyra, duluan ya!" ucap Kinan menyadarkan kegalauanku, "Oh...
Iya iya !"
Kemudian mereka menjauhiku yang sedang terluka, hu...hu... Hancur hatiku bagai
gelas yang tersepak angin puyuh hingga pecah dan berserakan dilantai. Dika
masih sempat menolehku, memandangiku beberapa saat, lalu hilang dibalik pintu.
Aku kembali duduk diruang tunggu, kemudian Mily datang menghampiriku dengan memperlihatkan
tatanan rambut barunya. "Key, gimana penampilan gue? Cantikkan!" "Pulang
yukz Mil, gue capek!" Aku menjawab ketus pada Mily, sembari berdiri lalu
beranjak melangkah. "Eh, apa ini?" Mily memungut sesuatu dari bawah
kursi, "Cincin!"
Aku spontan merampas cincin itu dari tangan Mily, kucoba melihat lingkar cincin
terukir 2 huruf D&K.
Malam
yang dingin, sudah pukul 11 lewat namun aku belum juga dapat memejamkan mata.
Padahal biasanya jam segini aku sudah bermain-main dialam mimpi. Aku mengambil cincin
yang terjatuh disalon, kuamati cincin yang kini telah berada ditanganku. "Seandainya
saja 2 huruf D&K yang terukir ini adalah Dika & Keyra, bahagianya"
gumamku, kucoba keisenganku menyematkan cincin kejari manisku. Aku
membolak-balik jemariku sambil senyum-senyum sendiri. Ketika berniat melepas
cincin tiba-tiba "Astaga!!" cincinnya sulit terlepas. Sekuat apapun
aku menarik, tetap saja cincin itu melingkar dijari manisku. "Hah,
yasudahlah, " jika terus kupaksa itu akan melukai jemariku nantinya.
Pagi
hari, aku melirik kesemua arah ketika aku sampai diparkiran, kulihat jam
ditangan kiriku pukul 07.35, biasanya Dika sudah datang tapi kali ini aku tak
melihat motornya diparkiran. Dan saat aku melangkah menuju koridor, ada sosok
yang kucari disebrang sana, berusaha menyebrangi jalan. Aku mencoba
menghampirinya, dengan alasan mengembalikan cincin yang jatuh saat disalon,
tiba-tiba dari arah kanan aku melihat mobil dengan kecepatan dahsyat, melintas
dan Dika mulai melangkah diantara jalan raya itu kemudian, "Dika.....!!!
Awas.....!!" "Aaaaaaa......" teriak Dika dan "Braaaaakkk....."
mobil itu menghantam tubuh Dika hingga terpental dengan jarak sekitar 1 meter.
Adakah
jiwanya disana? Ketika raganya semu, saat matanya terpejam. Kumohon
kembalilah....
Aku
harap-harap cemas menunggu kabar dari Dokter, bagaimana keadaannya sekarang. 10
menit kemudian Dokter keluar,
"Maaf, bisa saya bicara dengan keluarga pasien?" Aku bingung harus
bicara apa pada dokter, hingga muncul ide gila. "Emmm.... Saya tunangannya
Dok !"aku terpaksa berdusta pada Dokter "Baiklah mari ikut saya"
Aku duduk, dan kini kami saling berhadapan. Dokter muda ini mulai ancang-ancang
untuk bicara serius. "Begini nona, dengan berat kami harus menyampaikan
ini!" "Iya, Dika kenapa Dokter?" aku mendesak Dokter, "Tenang
nona, untuk saat ini kondisinya cukup baik. Tapi, akibat benturan yang sangat
keras dibagian kepala membuat pasien...." Dokter menjeda pembicaraannya,
"Kenapa, Dok?" "Pasien mengalami kebutaan" "Apa...!
Buta....!!"
Aku menutup mulut dengan kedua tangan tak percaya. Malang sekali tambatan
hatiku itu harus menerima pukulan hidup yang tragis.
Sosok
pria tampan tergeletak tak berdaya diruang ICU, wajahnya pucat pasi. Aku tak
kuat membendung airmataku. Aku masih berdiri disampingnya, tiba-tiba Dika mulai
tersadar. Aku mencoba memangil Suster disekitar ruangan dan disusul oleh Dokter
masuk untuk memeriksa kondisi Dika. Dari luar ruangan, Dika berteriak. "Ngak..
Enggak mungkin! Aku buta Dokteeeer"
Hatiku sakit mendengar suara Dika yang terdengar miris, lalu perlahan hening,
ternyata Dokter memberi suntikan pemenang untuk Dika. Keesokan harinya, aku
kembali menemui Dika, dari balik pintu aku melihat Dika sedang berbincang
dengan Suster, syukurlah kini Dika jauh lebih baik.
"Suster..."
ucap Dika
"Ya,
mas, "
"Siapa
yang membawa aku kesini?"
"Tunangannya
mas, dia yang menjaga mas waktu koma, "
"Tunangan....!
Lalu dimana dia?"
"Mungkin,
sebentar lagi ia datang. Baiklah mas, saya permisi dulu ya"
Suster
keluar ruangan dan aku mencoba masuk, senangnya melihat Dika tenang hari ini.
Mungkin ia telah berlapang dada menerima kenyataan pahit yang kini menimpanya. "Dika
!!" aku memangil Dika pelan "Siapa itu ?" tanya Dika heran "Aaa...aku..."
tiba-tiba Dokter datang bersama Suster untuk mengecek kondisi Dika. "Eh...
Mbak, udah datang! Tadi mas Dika nanyain mbak loh" Suster menegur dan itu
membuat Dika menyebutkan nama seseorang. "Kinan....!!" seru Dika, aku
terdiam mendengar seruan Dika menyebut nama Kinan, aku lupa seharusnya aku
menghubungi Kinan, karena keluarga Dika saat ini berada diluar negeri. Aku
segera keluar ruangan mencoba mengecek kontak dihandphone Dika, tertera nama Kinan home, mungkin ini nomor telphone
rumah Kinan dan kupencet tombol hijau yang ada dihandphone.
"Halo!
Kinan..."
"Maaf,
non Kinan lagi diluar kota" terdengar suara seseorang wanita paruh bayah
dari sebrang sama.
"Ini
siapa?"
"Ini
pembantunya, ada pesan apa ya"
Tut...
Tut... Tut...
Aku
menutup telphone, tak ingin bicara
terlalu banyak karena bukan Kinan yang ada disebrang sana. Aku harus bagaimana,
apakah aku harus melakukan sebuah sandiwara demi Dika. Aku mulai menatap
jendela kaca ruangan Dika, melihat senyumnya aku merasa bahagia, apa lagi jika
aku berada didekatnya pasti akan terasa begitu indah. Terpaksa aku memutuskan
untuk berpura-pura menjadi tunangannya untuk sementara waktu, sampai Kinan
kembali.
Tanpa
terasa aku telah berdusta hampir 1 bulan lamanya, aku masih saja berpura-pura
pada Dika, bahwa yang selalu menemani hari-harinya, menjaganya, serta bercanda
tawa bersama adalah tunangannya. Namun nyatanya aku hanya gadis yang dulu
diam-diam menaruh hati padanya, berharap ia dapat membalas cintaku suatu hari
nanti. Aku sangat ingin terus menjadi mata baginya. Sebuah message muncul dilayar handphone
Dika.
Sender : Kinan
Bulan depan aku kembali. Kita perlu bicarakan masalah kita.
Hatiku
pilu, saat membaca pesan singkat Kinan, itu artinya aku harus segera mengakhiri
sandiwara ini.
Pagi
ini aku merasa kurang bersemangat, bahkan wajahku terlihat pucat ketika
bercermin. Mungkin aku terlalu lelah menemani Dika 1 bulan ini hingga
mengabaikan kesehatanku. Aku terus memaksa berjalan kekelas, namun aku merasa
tubuhku semakin lemah lalu penglihatanku sedikit kabur diiringi dengan kepalaku
yang pusing dan tidak lama kemudian "Braaaak..." aku terjatuh
pingsan. 2 jam berlalu, Papa mondar-mandir didepan pintu kamar rumah sakit
terlihat sangat cemas. Peristiwa yang sama 3 tahun lalu, saat Dokter mendiagnosa penyakit kanker hati bersemayam
ditubuhku. Beberapa menit kemudian Dokter keluar, Papa spontan menyerbu Dokter.
"Bagaimana Dok, anak saya?" "Tenang Pak, sejauh ini kondisinya
cukup baik. Tapi, tidak dengan kankernya yang semakin parah" Papa tahu
jika umurku memang tidak dapat bertahan lama, penyakit yang kuderita kini telah
sampai diambang batas, mungkin dalam hitungan hari aku akan pergi menyusul
Mama.
Aku
masih berbaring ditempat tidur panjang. Rasanya ini hari terakhirku, ya...
Sakitku makin tak terbendung. Aku merasakan sakit yan begitu dahsyat,
disampingku sudah ada Papa, Kak Airin dan ketiga best friendku.
"Pa...
Keyra minta maaf, udah ngerepoti Papa" aku bicara terbata-bata pada Papa,
Papa hanya diam membisu lalu mengecup keningku.
"Kak
Airin, lo udah balik dari Kalimantan?"
"Iya,
Kakak balik buat kamu sayang!"
"Kakak,
jagain Papa ya?"
"Hus..
Ngomong apa sih, kita bakal jagain Papa sama-sama". Aku hanya tersenyum, "Key,
lo harus kuat ya?" Rubi menyemangatiku
"Iya
Key, ntar kita hangout bareng!!"
dengan gaya centil Mily menimpali
"Kita
semua sayang sama lo Key!" Vina ikut menambahi dan lagi-lagi aku hanya
bisa tersenyum. Aku menyerahkan sebuah kotak kecil berisi diary, cincin, foto, puisi, dan sepucuk surat kepada Rubi. "Bi,
tolong kasih ini sama Dika !" Rubi menyambut kotak itu dengan wajah heran.
Tiba-tiba nafasku berat, aku merintih kesakitan, detektor jantung berbunyi datar. Papa begitu gelisah, lalu ia
memangil Dokter. "Sebaiknya kalian tunggu diluar !" Dokter segera
menjalankan tugasnya. Sementara Papa dan yang lainnya menunggu dengan gelisah.
Selang beberapa saat, Dokter keluar. Papa tak bisa menahan diri, "Dokter,
bagaimana Keyra ?" Dokter muda itu hanya membisu, ia menepuk bahu Papa
sambil menggeleng.
"Keyra....
!!" Papa terduduk dilantai
"Key,
tega kamu biarin Kakak jagain Papa sendiri !" Kak Airin terisak. Rubi,
Vina, dan Mily berpelukan "Keyraaa...!"
Disaat
yang bersamaan, beberapa jam setelah Keyra meninggal, Dika mendapat kabar bahwa
ada seseorang yang mendonorkan mata kepadanya. Dengan segera operasi akan dilaksanakan
hari itu juga hingga operasi dinyatakan berhasil. 2 minggu setelah operasi,
Dika memulai aktifitasnya sebagai mahasiswa, saat Dika melangkah dengan
angkuhnya tiba-tiba Rubi mendorongnya hingga menyandar kedinding. Dika
memberontak, lalu Rubi ingin menonjok wajah Dika tapi, Rubi menahan pukulannya
tak kuasa melemparkan pukulan karena ia tahu mata itu milik sahabatnya. Tanpa
sadar air mata Rubi jatuh, membuatnya mengcancel
emosinya dan langsung menyerahkan kotak berwarna pink kepada Dika.
"Apa
ini ?" Tanya Dika,
"Kenangan
terakhir dari bidadari penolong yang udah rela mendonorkan kedua matanya buat
lo !"
"Maksud
lo ?" Dika bingung,
"Heh,
lo tu jahat banget Dik sama Keyra, lo tu cowok yang nggak peka ya,, lo nggak
sadar ada seseorang yang mencintai lo dengan tulus".
Keyra...
!" Dika makin tak mengerti
"Iya,,,
Keyra. Seseorang yang ada disamping lo waktu lo buta, gadis manis, ceria, dan
tulus hatinya. Selalu menulis sajak kecil buat lo, yang berharap suatu saat
nanti lo bakal membalas cintanya". Dika terdiam tak percaya, memandang
kotak kecil yang kini berpindah ketangannya.
Dika
pergi menuju kesebuah pemakaman, Dika terisak disamping pusaran. Dika memeluk
nisan yang bertuliskan nama Keyra Amalita, bidadari penolongnya. Hujan yang
mengguyur tak ia hiraukan, Dika memandang nisan berwarna putih itu dan
mendekapnya erat, erat sekali. Kemudian Dika kembali memandang secarik kertas
lusuh digenggamannya.
Cinta
hanya ilusi, yang terbang bersama satu mimpi, berharap sebuah keabadian. Namun
sebenarnya cinta adalah sebentuk pengorbanan yang nyata, berakar dari segenggam
hati dan tercipta untuk satu jiwa yaitu kamu.
SELESAI