Aku punya
segalanya, hidup mewah, populer, pintar, dan cantik. Semua orang menyukaiku,
tapi aku benci semuanya, semua tentang hidupku. Aku benci Mama yang sibuk
dengan bisnisnya dan Papa yang work holic
hingga jarang ada dirumah. Tidak ada yang memperhatikanku, diusiaku yang masih
butuh bimbingan orang tua, aku ingin seperti Niken atau Vina, yang selalu
ditanya saat pulang sekolah jika terlambat sampai rumah, yang selalu diberi
kecupan kening ketika pamit pergi sekolah. Aku iri pada teman-temanku, mereka dapatkan
apa yang aku inginkan.
"Waah, enak ya Noy jadi kamu, udah cantik, pinter, pupoler lagi,"
ucap Vina padaku. "Iya Noy, semuanya serba ada," Niken ikut
menambahkan. Aku hanya bisa tersenyum kecil, karena mereka tidak mengerti apa
yang sedang kurasakan. Mungkin semua orang melihat hidupku sempurna bagaikan
sang putri kerajaan yang bahagia dengan segala yang kupunya saat ini. Tapi,
apakah mereka dapat membaca keadaan batinku yang teriris-iris ini.
Aku sengaja
tidak langsung pulang kerumah usai sekolah. Aku pergi keluyuran sesuka hatiku,
hingga larut malam tidak ada seorangpun yang mengkhawatirkan atau mencari
keberadaanku. Seharusnya jika jam segini anak SMA belum tiba di Rumah, semua
orang tua akan kebingungan mencari anaknya namun tidak untuk Mama dan Papa.
Kemana mereka, tidakkah khawatir padaku saat ini, entahlah rasanya aku sedang
hidup dineraka sendirian.
***
"Noy,,,!"
seseorang berseru. Aku melihat sudah ada Niken dibelakangku. "Noy, kemarin
kamu kemana sepulang sekolah?" tanya Niken padaku. "Aah, pulang kok
kerumah," jawabku. "Pulang kemana, ke Mall ya maksud kamu?" tanya Niken lagi. "Eh, enggak
kok," tegasku. "Aku liat kamu kok, kemaren aku juga di Mall sama nyokap". Pernyataan Niken
seakan merobek hatiku, betapa bahagianya jika bisa pergi ke Mall bersama Mama. Namun itu semua
mustahil, aku tak pulang saja mereka begitu acuh, mana mau menyisihkan waktu
mereka untukku sekedar pergi ke Mall.
Disaat seperti
ini, aku lebih suka menyendiri dindanau yang sunyi, tempat ini adalah lokasi
favoritku yang kedua setelah kamarku. Aku sering pergi sendiri di danau ini
hingga larut malam dan sepertinya aku tidak sendiri kali ini, ada seseorang
yang sedang duduk ditepi danau, seorang gadis. Mungkin gadis itu juga sama
sepertiku merasa kesepian, karena itu ia memilih melarikan diri ke danau ini
untuk menyepi dari keluh kesah. Aku mulai melangkah mendekati gadis itu,
rambutnya hitam dan terurai panjang, ia juga mengenakan seragam sekolah
sepertiku hanya saja berbeda motif.
Kini aku telah duduk ditepi danau, kami bersebelahan dengan jarak sekitar 20
jengkal duduk ditepi danau. Gadis itu menoleh kearahku dan melemparkan senyum
bersahabat, akupun membalas senyuman itu. Aku mencoba bergeser mendekat
kesamping gadis itu agar jarak kami lebih dekat, lalu aku memulai pembicaraan
setelah 10 menit yang lalu kami saling bungkam. "Namaku Noya, panggil aja
Noy!" ucapku sembari mengulurkan tangan. Dengan wajah yang terlihat sendu
gadis itu melirik mataku dan menyambut jemariku, "Aku, Maya"
kurasakan jemarinya yang dingin, kurasa ia sudah lama didanau ini hingga
tangannnya terasa dingin bagai es. "Kamu, udah dari tadi disini?"
tanyaku lagi. "Iya" jawab Maya datar. "Ah, pasti kamu sama kayak
aku, kesepian dirumah, ngga punya temen, ngga diperhatiin, karena nyokap sama
bokap sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing sampe mereka lupa kalo
mereka itu punya anak..." aku terus saja bicara sesukaku tanpa jedah
sedikitpun. Namun Maya hanya diam menatap hamparan air danau dihadapannya tanpa
ekspresi apapun diwajah cantiknya.
"Aku harus pulang," ucap Maya sembari bangkit berdiri dan melangkah
pergi . Aku yang masih terus berkicau terpaksa menghentikan celotehanku sejenak.
"Kamu mau pulang, May?" tanyaku.
Namun Maya terus saja berjalan tanpa menoleh ataupun tersenyum. Aku menatap
lekat langkahnya yang terburu-buru lalu perlahan semakin jauh hingga tak
terlihat lagi sosoknya, aku melihat sebuah benda tergeletak ditempat Maya memanjkan
tubuhnya sebelum ia pergi. Sebuah gelang yang terbuat dari unsur anyaman. Aku
yakin ini milik Maya, yang tanpa sengaja tertinggal. Aku mengenakan gelang
tersebut dan berharap dapat bertemu kembali dengan pemiliknya.
****
"Noy, Mama
ada bisnis diluar kota
nanti kamu nginep aja kerumah Nenek!" pesan singkat dari Mama yang muncul
dilayar ponselku. "Ngga usah pulang aja Ma sekalian..." aku mereply pesan Mama dengan kesal. Sungguh
aku sangat membenci kedua orang tuaku, kalau boleh aku meminta aku tak ingin
jadi anak mereka. Biarlah aku jadi anak Bik Mina saja pembantu dirumahku dari
pada jadi anak mereka tapi selalu diabaikan.
Sebelum pulang
kerumah Nenek, aku pergi menuju danau untuk menemui Maya, mungkin saja ia
kembali untuk mencari gelangnya yang tertinggal kemarin. Aku tak melihat
siapapun didanau ini. Beberapa menit aku bermalasan ditepi danau. Nada dering
ponsel ditasku berbunyi ada nomer tak dikenal dilayar ponselku.
"Halo..." jawabku. "Betul ini dengan nona Noy?" suara seorang
pria disana. "Iya, betul, " jawabku singkat. "Kami dari
kepolisaan mengabarkan bahwa ibu anda kecelakaan dan meninggal dunia".
Seketika aku bungkan mendengar pernyataan pria itu, mataku mulai tergenangi
oleh buliran air mata tak kuasa membendung kesedihan. "Mamaaaaa..." aku
mulai terisak ditepi danau.
****
Seminggu
kepergian Mama begitu membekas dihati, ada penyesalan yang mendalam. Aku ingat
setiap ucapan kejam yang terlontarkan dibatinku, seakan semua berubah menjadi
do'a yang siap dikabulkan Tuhan. Papa terlihat semakin sibuk saja dan tak
pernah terlihat olehku berada dirumah, bahkan disaat menjelang ulang tahunku.
Seharusnya Papa disini bersamaku menanti usiaku genap 16 tahun tepat pukul 12
malam nanti. Aku duduk di ruang tamu sendiri, dihadapanku sudah ada kue yang
berhiaskan lilin. Aku ingin menanti Papa pulang dan merayakan ulang tahunku
bersama Papa. Pukul 00.45 dinihari telphone
rumah berbunyi, aku beranjak meraih gagang telphone
"Halo..." jawabku. "Selamat malam, benar ini nomer telphon rumah
bapak Sugito?" tanya seseorang disana. "Iya, " jawabku datar.
"Kami dari pihak Rumah Sakit ingin mengabarkan bahwa pak Sugito meninggal
dunia dinihari terkena serangan jantung". Gagang telphone ditanganku terjatuh, aku seakan tak percaya mendengar
pengakuan seorang wanita itu. "Papaaa..." air mataku mulai jatuh, aku
terisak menangis sejadi-jadinya.
****
"Kenapa...
Kenapa kalian ninggali Noy. Noy kangen Ma,,, Pa,,,!" tangisku mulai pecah
dikesunyian danau, tiba-tiba suara seseorang mengejutkanku. "Bukannya ini
yang kamu mau Noy, " aku menoleh kebelakang dan sudah ada seseorang yang
kukenal disana. "Maya..." desahku. "Seharusnya kamu bahagia Noy,
karena apa yang kamu inginkan terwujud, " ucap Maya bengis. "Maksud
kamu May?" tanyaku heran. Aku menatap Maya penuh curiga, wajahnya pucat
pasi, sorot matanya hanya satu arah tertuju pada hamparan air danau yang
membentang luas tepat didepan kami.
Aku tak paham kalimat terakhir Maya. Ada
sejuta tanya dibenakku, kenapa Maya seakan menyalahkanku. Maya tersenyum lebar,
ada kemenangan dibalik senyumnya, Maya seakan begitu bahagia melihatku terpuruk
saat ini. "Selamat tinggal Noy, Papa dan Mamamu sedang bahagia disana.
Disisi Tuhan, bersamaku…" dan Maya menghilang entah kemana
****
"Pagi
Noy," ada Niken yang setia menungguku didepan kelas, menyapa penuh
kehangatan. Dirangkulnya pundakku hingga kami sampai di tempat duduk
masing-masing. Vina yang terlihat asik dengan majalahnya begitu serius membaca
sebuah artikel, ada sebuah foto yang menarik perhatianku didalam artikel itu
"Maya,"gumamku. "Kamu kenal Noy sama nih cewek," tanya Vina
sembari menunjukkan artikel yang masih ditangannya. "Emangnya dia siapa
Vin," aku pura-pura tidak tahu. "Maya Renata, seleb yang nekat bunuh
diri di danau cinta," jelas Vina. "Loh, itukan danau yang sering kita
datengi," sahut Niken. "Iya, nasipnya mirip kayak Noy masih muda udah
ditinggal pergi sama orang tua tapi, Noy beruntung masih punya Kakak yah,,
meskipun jauh". Seketika aku terdiam mendengar keterangan Vina. Sosok Maya
yang kutemui di danau cinta sangat mirip dengan wajah gadis yang ada pada
artikel itu dan artinya Maya sudah... "Astaga," Maya yang datang tak
dijemput dan pulang tak diantar ternyata salah satu penunggu danau cinta. Lalu
gelang Maya yang melingkar ditanganku adalah benda kesayangannya. Mungkin Vina
benar, aku masih beruntung masih memiliki seorang Kakak, serta teman-teman yang
menyayangiku. Kehadiran Maya seakan berpesan bahwa Mama dan Papa memang telah
bahagia disana, disisi Tuhan.