Rabu, 16 Oktober 2013

Celotehan Bumiku






Jika saja Bumiku bisa bicara, mungkin ia akan berkata
“Hei... Manusia, harus sebaik apa lagi aku sebagai Bumi. Disini aku merana juga dilema menerawang tentang bagaimana nasipku selanjutnya. Kejamnya kalian padaku?!”.

Jika saja Bumiku dapat melihat, mungkin ia akan bersedih ketika menyaksikan manusia yang tanpa dosa membuang sampah sembarangan.
Jika saja Bumiku dapat mendengar, mungkin ia akan sakit hati saat manusia membahas proyek besar-besaran yang digelar demi pembangunan mewah gedung-gedung pencakar langit.

Sadarkah kalian...

Bumi akan merasa gerah, saat manusia berpolemik meribut-ributkan peristiwa kebanjiran, tanah longsor, dan kebakaran hutan yang sebenarnya semua adalah perbuatan nakal kita.
Bumi akan merasa sesak, saat kendaraan pribadi kita menciptakan kemacetan yang makin berkepanjangan.
Bumi akan merasa terhimpit, saat Bumi mulai dipenuhi dengan pemukiman kita yang kian tak terhingga. Bumi akan merasa risau, saat pohon-pohon sebagai pelindung tubuhnya yang hijau dipangkas habis tanpa tersisa.
Bumi akan merasa galau, saat air bersihnya sebagai cermin bagi langit tercemar begitu saja oleh limbah-limbah pabrik yang menderai.
Bumi akan merasa kacau, saat tanahnya digali menggunakan alat-alat berat sebagai alasan kita mencari nafkah.

Namun sayang...

 Bumi hanyalah sebentuk atmosfer bulat ciptaan Tuhan yang tidak bernyawa. Tidak memiliki mata untuk melihat, tidak memiliki telinga untuk mendengar, tidak memiliki mulut untuk bicara, dan tidak memiliki hati untuk bernaluri.

Tetapi kita...

 Manusia dengan segala kesempurnaan yang dianugerahkan Tuhan. Memiliki mata tetapi, seakan buta membiarkan bumi menangis oleh banjir. Memiliki telinga tetapi, seakan tuli dengan kasus globalisasi, reboisasi, dan bla bla bla. Memiliki mulut tetapi, seakan bisu enggan berpendapat bijak menghijaukan bumi. Memiliki hati tetapi, seakan tidak ingin peka terhadap kerusakan bumi yang semakin berganti seiring zaman.

Note ini diikutsertakan dalam rangka event #30DaysSaveEarth yang diselenggarakan oleh @jungjawa dan @unidzalika

Selasa, 08 Oktober 2013

Manusia dan Masalahnya




Hidup sesungguhnya penuh dengan permasalahan, siapapun orangnya pasti akan menghadapi problematika yang sering disebut dengan masalah. Sesuatu yang riel dan nyata adanya bahwa didalam kehidupan ini masalah akan ada dan datang menghampiri setiap manusia dengan silih berganti. Selama manusia masih bernyawa, maka saat itu mereka tidak dapat menghindari diri dari sebuah permasalahan.
Masalah seharusnya bukan untuk dihindari, namun untuk dihadapi dan diselesaikan dengan sebaik mungkin. Manusia tidak bisa lari begitu saja dari masalah karena permasalahan hidup adalah sebuah kenyataan maka yang dibutuhkan adalah kesiapan mental dan jiwa. Bagai sebuah pohon yang semakin tinggi maka akan semakin banyak menerima terpaan angin, seperti itulah gambaran kehidupan manusia. Berbagai masalah pasti akan datang sejalan dengan perputaran roda kehidupan. Manusia, siapapun dia, profesi apa saja yang disandang, maupun status sosial apa saja yang mereka miliki pasti akan ada permasalahan hidup masing-masing. Sebab hidup dan masalah sesungguhnya merupakan dua subjek yang sudah menyatu, keduanya tidak dapat dipisahkan karena setiap kehidupan pasti akan ada permasalahan, jika tidak ada masalah tentu tidak ada kehidupan.
Tidak ada manusia yang tidak punya masalah dalam kehidupan, kalaupun itu ada maka mereka adalah manusia yang tidak punya masalah dengan dirinya sendiri tetapi pasti menjadi beban masalah bagi orang lain. Jika dilihat dari segi pertumbuhan hidup yang dijalani manusia akan kita temui fase kehidupan beserta masalahnya. Fase kehidupan remaja misalnya, pasti akan dihadapkan oleh masalah pergaulan, cinta, bahkan masalah pencarian jati diri dan sebagainya. Namun masalah akan hilang secara perlahan dan akan bergulir menjadi masalah yang lebih berat ketika seorang remaja memasuki fase sesudahnya yaitu masa dewasa. Pada masa dewasa seseorang pasti akan dihadapkan oleh berbagai masalah yang lebih sulit, berat, dan kompleks seperti masalah ekonomi, pekerjaan, keluarga, anak, kedudukan dan masih banyak masalah-masalah lainnya.
Dalam realita kehidupan sehari-hari yang terlihat dimata kita, bahwa orang lain tidak seperti kita. Anda barangkali melihat dan menilai bahwa saya adalah seseorang yang paling berbahagia, tidak punya banyak masalah, hidup rukun dalam keluarga dan santai dengan pekerjaan. Tapi tanpa disadari pada saat yang bersamaan saya juga melihat dan menilai bahwa andalah orang yang paling bahagia, beban yang anda pikul tidak seberat dengan apa yang saya hadapi. Kenyataan seperti diatas ternyata tidak hanya berlaku antara saya dan anda, tetapi semua orang juga sama seperti kita. Mereka selalu melihat bahwa orang lain lebih bahagia hidupnya dari pada kehidupan mereka sendiri.
Sebuah kenyataan yang tidak bisa kita pungkiri bahwa ketika masalah hidup itu menyiksa, kita selalu merasakan yang namanya kesedihan. Pada puncaknya kesedihan itu akan menjadi duka dan lara yang begitu menyiksa hingga kita tidak berdaya apa-apa dalam tekanan kepedihan tersebut. Banyak sekali kasus yang menunjukkan bahwa seseorang bisa berbuat nekat menjerumuskan dirinya sendiri dalam kehancuran bahkan membuat kehancuran bagi orang lain karena tekanan masalah hidup yang mereka rasakan sebagai sebuah siksaan.Allah Swt berfirman :
إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا . إِنَّ الإنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا
Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh.
Apabila dia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah
” (QS. Al Ma'arij : 19-20)
Kurang adanya kesadaran diri bahwa orang lain juga punya kehidupan yang lebih layak merupakan sumber dan awal dari hilangnya rasa syukur yang kemudian menumbuhkan sifat keluh-kesah tersebut. Padahal kalau kita mau mengikuti bahwa sumber dari kebahagiaan hidup sesungguhnya terletak pada rasa syukur itu. Kita sering memimpikan punya kelebihan tanpa merenungkan resikonya, padahal kelebihan tersebut hanya akan menciptakan permasalahan baru. Jadi, kenapa tidak mencoba untuk mensyukuri sesuatu yang sudah kita punya saja mulai saat ini.





Jumat, 04 Oktober 2013

(Fiksi) Gelang Maya




Aku punya segalanya, hidup mewah, populer, pintar, dan cantik. Semua orang menyukaiku, tapi aku benci semuanya, semua tentang hidupku. Aku benci Mama yang sibuk dengan bisnisnya dan Papa yang work holic hingga jarang ada dirumah. Tidak ada yang memperhatikanku, diusiaku yang masih butuh bimbingan orang tua, aku ingin seperti Niken atau Vina, yang selalu ditanya saat pulang sekolah jika terlambat sampai rumah, yang selalu diberi kecupan kening ketika pamit pergi sekolah. Aku iri pada teman-temanku, mereka dapatkan apa yang aku inginkan.
"Waah, enak ya Noy jadi kamu, udah cantik, pinter, pupoler lagi," ucap Vina padaku. "Iya Noy, semuanya serba ada," Niken ikut menambahkan. Aku hanya bisa tersenyum kecil, karena mereka tidak mengerti apa yang sedang kurasakan. Mungkin semua orang melihat hidupku sempurna bagaikan sang putri kerajaan yang bahagia dengan segala yang kupunya saat ini. Tapi, apakah mereka dapat membaca keadaan batinku yang teriris-iris ini.
Aku sengaja tidak langsung pulang kerumah usai sekolah. Aku pergi keluyuran sesuka hatiku, hingga larut malam tidak ada seorangpun yang mengkhawatirkan atau mencari keberadaanku. Seharusnya jika jam segini anak SMA belum tiba di Rumah, semua orang tua akan kebingungan mencari anaknya namun tidak untuk Mama dan Papa. Kemana mereka, tidakkah khawatir padaku saat ini, entahlah rasanya aku sedang hidup dineraka sendirian.
***
"Noy,,,!" seseorang berseru. Aku melihat sudah ada Niken dibelakangku. "Noy, kemarin kamu kemana sepulang sekolah?" tanya Niken padaku. "Aah, pulang kok kerumah," jawabku. "Pulang kemana, ke Mall ya maksud kamu?" tanya Niken lagi. "Eh, enggak kok," tegasku. "Aku liat kamu kok, kemaren aku juga di Mall sama nyokap". Pernyataan Niken seakan merobek hatiku, betapa bahagianya jika bisa pergi ke Mall bersama Mama. Namun itu semua mustahil, aku tak pulang saja mereka begitu acuh, mana mau menyisihkan waktu mereka untukku sekedar pergi ke Mall.
Disaat seperti ini, aku lebih suka menyendiri dindanau yang sunyi, tempat ini adalah lokasi favoritku yang kedua setelah kamarku. Aku sering pergi sendiri di danau ini hingga larut malam dan sepertinya aku tidak sendiri kali ini, ada seseorang yang sedang duduk ditepi danau, seorang gadis. Mungkin gadis itu juga sama sepertiku merasa kesepian, karena itu ia memilih melarikan diri ke danau ini untuk menyepi dari keluh kesah. Aku mulai melangkah mendekati gadis itu, rambutnya hitam dan terurai panjang, ia juga mengenakan seragam sekolah sepertiku hanya saja berbeda motif. Kini aku telah duduk ditepi danau, kami bersebelahan dengan jarak sekitar 20 jengkal duduk ditepi danau. Gadis itu menoleh kearahku dan melemparkan senyum bersahabat, akupun membalas senyuman itu. Aku mencoba bergeser mendekat kesamping gadis itu agar jarak kami lebih dekat, lalu aku memulai pembicaraan setelah 10 menit yang lalu kami saling bungkam. "Namaku Noya, panggil aja Noy!" ucapku sembari mengulurkan tangan. Dengan wajah yang terlihat sendu gadis itu melirik mataku dan menyambut jemariku, "Aku, Maya" kurasakan jemarinya yang dingin, kurasa ia sudah lama didanau ini hingga tangannnya terasa dingin bagai es. "Kamu, udah dari tadi disini?" tanyaku lagi. "Iya" jawab Maya datar. "Ah, pasti kamu sama kayak aku, kesepian dirumah, ngga punya temen, ngga diperhatiin, karena nyokap sama bokap sibuk sendiri dengan urusannya masing-masing sampe mereka lupa kalo mereka itu punya anak..." aku terus saja bicara sesukaku tanpa jedah sedikitpun. Namun Maya hanya diam menatap hamparan air danau dihadapannya tanpa ekspresi apapun diwajah cantiknya. "Aku harus pulang," ucap Maya sembari bangkit berdiri dan melangkah pergi . Aku yang masih terus berkicau terpaksa menghentikan celotehanku sejenak. "Kamu mau pulang, May?" tanyaku.
Namun Maya terus saja berjalan tanpa menoleh ataupun tersenyum. Aku menatap lekat langkahnya yang terburu-buru lalu perlahan semakin jauh hingga tak terlihat lagi sosoknya, aku melihat sebuah benda tergeletak ditempat Maya memanjkan tubuhnya sebelum ia pergi. Sebuah gelang yang terbuat dari unsur anyaman. Aku yakin ini milik Maya, yang tanpa sengaja tertinggal. Aku mengenakan gelang tersebut dan berharap dapat bertemu kembali dengan pemiliknya.
****
"Noy, Mama ada bisnis diluar kota nanti kamu nginep aja kerumah Nenek!" pesan singkat dari Mama yang muncul dilayar ponselku. "Ngga usah pulang aja Ma sekalian..." aku mereply pesan Mama dengan kesal. Sungguh aku sangat membenci kedua orang tuaku, kalau boleh aku meminta aku tak ingin jadi anak mereka. Biarlah aku jadi anak Bik Mina saja pembantu dirumahku dari pada jadi anak mereka tapi selalu diabaikan.
Sebelum pulang kerumah Nenek, aku pergi menuju danau untuk menemui Maya, mungkin saja ia kembali untuk mencari gelangnya yang tertinggal kemarin. Aku tak melihat siapapun didanau ini. Beberapa menit aku bermalasan ditepi danau. Nada dering ponsel ditasku berbunyi ada nomer tak dikenal dilayar ponselku. "Halo..." jawabku. "Betul ini dengan nona Noy?" suara seorang pria disana. "Iya, betul, " jawabku singkat. "Kami dari kepolisaan mengabarkan bahwa ibu anda kecelakaan dan meninggal dunia". Seketika aku bungkan mendengar pernyataan pria itu, mataku mulai tergenangi oleh buliran air mata tak kuasa membendung kesedihan. "Mamaaaaa..." aku mulai terisak ditepi danau.
****
Seminggu kepergian Mama begitu membekas dihati, ada penyesalan yang mendalam. Aku ingat setiap ucapan kejam yang terlontarkan dibatinku, seakan semua berubah menjadi do'a yang siap dikabulkan Tuhan. Papa terlihat semakin sibuk saja dan tak pernah terlihat olehku berada dirumah, bahkan disaat menjelang ulang tahunku. Seharusnya Papa disini bersamaku menanti usiaku genap 16 tahun tepat pukul 12 malam nanti. Aku duduk di ruang tamu sendiri, dihadapanku sudah ada kue yang berhiaskan lilin. Aku ingin menanti Papa pulang dan merayakan ulang tahunku bersama Papa. Pukul 00.45 dinihari telphone rumah berbunyi, aku beranjak meraih gagang telphone "Halo..." jawabku. "Selamat malam, benar ini nomer telphon rumah bapak Sugito?" tanya seseorang disana. "Iya, " jawabku datar. "Kami dari pihak Rumah Sakit ingin mengabarkan bahwa pak Sugito meninggal dunia dinihari terkena serangan jantung". Gagang telphone ditanganku terjatuh, aku seakan tak percaya mendengar pengakuan seorang wanita itu. "Papaaa..." air mataku mulai jatuh, aku terisak menangis sejadi-jadinya.
****
"Kenapa... Kenapa kalian ninggali Noy. Noy kangen Ma,,, Pa,,,!" tangisku mulai pecah dikesunyian danau, tiba-tiba suara seseorang mengejutkanku. "Bukannya ini yang kamu mau Noy, " aku menoleh kebelakang dan sudah ada seseorang yang kukenal disana. "Maya..." desahku. "Seharusnya kamu bahagia Noy, karena apa yang kamu inginkan terwujud, " ucap Maya bengis. "Maksud kamu May?" tanyaku heran. Aku menatap Maya penuh curiga, wajahnya pucat pasi, sorot matanya hanya satu arah tertuju pada hamparan air danau yang membentang luas tepat didepan kami.
Aku tak paham kalimat terakhir Maya. Ada sejuta tanya dibenakku, kenapa Maya seakan menyalahkanku. Maya tersenyum lebar, ada kemenangan dibalik senyumnya, Maya seakan begitu bahagia melihatku terpuruk saat ini. "Selamat tinggal Noy, Papa dan Mamamu sedang bahagia disana. Disisi Tuhan, bersamaku…" dan Maya menghilang entah kemana
****
"Pagi Noy," ada Niken yang setia menungguku didepan kelas, menyapa penuh kehangatan. Dirangkulnya pundakku hingga kami sampai di tempat duduk masing-masing. Vina yang terlihat asik dengan majalahnya begitu serius membaca sebuah artikel, ada sebuah foto yang menarik perhatianku didalam artikel itu "Maya,"gumamku. "Kamu kenal Noy sama nih cewek," tanya Vina sembari menunjukkan artikel yang masih ditangannya. "Emangnya dia siapa Vin," aku pura-pura tidak tahu. "Maya Renata, seleb yang nekat bunuh diri di danau cinta," jelas Vina. "Loh, itukan danau yang sering kita datengi," sahut Niken. "Iya, nasipnya mirip kayak Noy masih muda udah ditinggal pergi sama orang tua tapi, Noy beruntung masih punya Kakak yah,, meskipun jauh". Seketika aku terdiam mendengar keterangan Vina. Sosok Maya yang kutemui di danau cinta sangat mirip dengan wajah gadis yang ada pada artikel itu dan artinya Maya sudah... "Astaga," Maya yang datang tak dijemput dan pulang tak diantar ternyata salah satu penunggu danau cinta. Lalu gelang Maya yang melingkar ditanganku adalah benda kesayangannya. Mungkin Vina benar, aku masih beruntung masih memiliki seorang Kakak, serta teman-teman yang menyayangiku. Kehadiran Maya seakan berpesan bahwa Mama dan Papa memang telah bahagia disana, disisi Tuhan.

Ulat, Kapan Kamu Bermetamorfosis Menjadi Kupu-kupu?








Ini kisah picisan tentang Ulat yang selalu dipandang sebelah mata. Ulat yang selalu dihina-hina, Ulat yang selalu dianggap makhluk paling menjijikkan. Ulat yang rendah hati selalu sadar diri akan siapa dirinya, apa status sosialnya, apa latar belakangnya. Ulat juga melihat bahwa mereka adalah mereka, dan dirinya akan tetap menjadi dirinya tak pernah akan bisa sama seperti mereka.
Sampai pada akhirnya Ulat merasa berkecil hati. “Kenapa, takdir harus menjadikannya sebagai Ulat?” seonggok binatang mungil yang menjijikkan dan lembek, binatang yang selalu dihindari oleh makhluk hidup lainnya. Kalau boleh Ulat memutar waktu sebelum kehadirannya ke muka Bumi, Ulat ingin menjadi binatang yang lain saja seperti Burung misalnya, Burung begitu bebas terbang kemanapun yang ia mau sesuka hati berkat sayapnya yang elok. Atau Kucing binatang primadona yang senantiasa mendapat perawatan khusus selalu disayang dan dimanja oleh tuannya.
Hingga musibah besar menimpa Ulat. Ulat sangat dilema ketika ia gagal untuk bermetamorfosis seperti Ulot, Ulut, Ulet, Ulit dan teman-teman yang lainnya. Ulat begitu terpuruk kenapa harus Ulat sendirian yang mengalami kegagalan metamorfosis. Ulat tak pernah menduga tentang nasib buruknya. Ulat hanya dapat beragumentasi konyol jika Tuhan tak begitu adil terhadap hidupnya. “Bagaimana jika aku tak dapat bermetamorfosis seperti yang lainnya?” ucap Ulat. “Apakah aku akan seperti ini selamanya, menjadi makhluk lembek yang menjijikkan?” keluh Ulat.
Ulat tak banyak mengerti tentang kehidupan. Ulat hanya tahu bahwa takdir begitu kejam padanya saat ini. Ulat hanya mampu pasrah dalam cuilan keadaan yang menyiksa batinnya. Tidak cukupkah penderitaan Ulat berpredikat sebagai makhluk menjijikkan, kini Ulat harus menelan pahitnya kehidupan ketika tertundanya proses metamorfosis alam.
Namun tahukah kalian, seiring waktu yang kian bergulir serta penantian Ulat dengan beriring harapan dan do'a . Akhirnya moment yang Ulat nanti beberapa waktu lalu telah tiba, Ulat mulai move on kemudian mengalami metamorfosis yang begitu indah. Tidak hanya itu saja, Ulat mendapatkan sayap Kupu-nya yang beda dari yang lainnya dengan corak pelangi yang sangat cantik. Kini semua mata tertuju pada moleknya sayap Kupu Ulat yang berwarna-warni layaknya pelangi. Semua terkagum-kagum melihat sayap Kupu Ulat yang mengepak sempurna. Terlihat senada diatas mega-mega ketika Ulat terbang menyusuri langit-langit Bumi.
Pelajaran berharga bagi Ulat, bahwa rencana Tuhan jauh lebih indah dari apa yang kita rencanakan. Skenario Tuhan lebih bermakna dari apa yang kita rasakan. Takdir Tuhan lebih puitis dari apa yang telah kita saksikan.

NB: Cerita ini terinspirasi dari kisah gadis lincah ceria yang berjuang untuk menggapai mimpi, cita, dan asa. Walaupun cobaan datang silih berganti. Apabila ada kemiripan nama tokoh dan karakter. Mohon maaf, mungkin hanya kebetulan saja.

Thank you for read... ;-)

Silakan tinggalkan comment Anda!!!

Dialog Sampah







Sampah lagi, sampah lagi !!
Lagi,,, lagi,,, sampah !!

Katanya Indonesia kita ini negara yang kaya raya, jika dilihat dari sumber daya alamnya yang melimpah sampai tumpah-tumpah. Sama halnya dengan sampah yang kian merajalela?

Katanya Indonesia peduli terhadap global warming yang sempat cetar membahana tetapi, tidak dengan peduli sampah hingga membuat mata sakit melihatnya?

Katanya Indonesia punya keanekaragaman budaya dari sabang sampai merauke. Termasuk jugakah budaya sembarangan membuang sampah?

Katanya, katanya, katanya, dan katanya...

Hello sampah !!
Apa kabarnya kalian disana?
Wah,,, kalian terlihat semakin merdeka saja yahh. Berbaur menyatu bersama kepadatan penduduk Indonesia. Dimana ada kehidupan pasti ada juga keberadaan kalian hehe...
Kalian juga mendapatkan tempat sebagai seleb dadakan yang jadi buah bibir dari mulut ke mulut.

     Pembicaraan tentang sampah seakan menjadi jamur ganas yang menyebar disetiap kesempatan. Persoalan sampah memang sepele tetapi, berdampak buruk bagi pencitraan Indonesia. Ini bukan saatnya untuk saling tunjuk menunjuk berlomba-lomba menyalahkan petugas kebersihan atau beragumentasi bebas menyudutkan aparat kementerian tata ruang wilayah kota, namun mengarah pada hati nurani. "Hati nurani apa?" membuang sampah tidak perlu menggunakan hati nurani seperti pemilihan Capres dan Wapres saja pakai hati nurani, buang saja sembarang tempat maka masalah akan beres. "Beres dari mana?" beres dari Hongkong gitu... Kenapa nggak sekalian aja lagu kebangsaan kita diganti liriknya jadi
"Disini sampah... Disana sampah... Dimana-mana pasti ada sampah... Lalalala... Lalalala..."
Ohh... Tidak, nanti Indonesia kita bisa kelelep sama tumpukan sampah dong. Terus dapat predikat negara sampah bahkan menembus rekor muri berkategori lautan sampah, mau kayak gitu?
   Mulailah dari hal yang paling kecil dulu tentunya harus dimulai dari diri kita sendiri. Contoh : Jika kamu sangat senang makan permen renceng harga segambreng, biasakan untuk tidak langsung membuang bungkusnya dimana tempat kalian berpijak. Cobadeh liat kanan kiri dulu ada tempat sampah atau nggak. Kalau tidak ada, bungkusnya kamu kantongi disaku baju atau celana aja sementara, nanti pas udah ketemu tempat sampah baru buang disitu, simple bukan. Kita juga dapat melakukan pembakaran sampah minimal 1 minggu sekali untuk mencegah penumpukan gunung sampah serta mencegah timbulnya bau tidak sedap yang berdampak pada pencemaran udara.
   Sampah bukan saja masalah petugas kebersihan tetapi, menjadi masalah semua warga Indonesia. Siapapun mereka, apa profesinya, apa latar belakangnya, apa status sosialnya, sampah ada karena perbuatan kita, terjadi penumpukkan sampah juga karena kita. Maka jangan saling berkomentar panas untuk menghakimi orang lain, namun cobalah untuk menghakimi diri sendiri.

Hey... Kamu!!
"Sudahkah buang sampah hari ini, jika sudah dimana?" di selokan, di jalan, di taman, di sungai, di danau. Hey... Kamu yang punya pendidikan S-cendol, S-campur, S-teler. Apa gunanya tempat sampah jika masih nakal buang sembarangan. Sumbangin aja itu kotak sampah sama negara tetangga jadi, kalau Indonesia sudah rata dengan tumpukan sampah, kali aja bisa numpang kesana.

So guys... Merdeka dari sampah maka bijaksanalah untuk membuang mantan eh... "Sampah" pada tempatnya.





Tulisan ini dal;am rangka event #30DaysSaveEart yang diselenggarakan oleh @jungjawa dan @unidzalika


Selasa, 01 Oktober 2013

Sajak Senja Oktober



Gerimis Senja

Aku terhimpit…
Pada bayangan hitam, ketika ingin menampakkan warna
Warna yang selalu dipuja setiap mata, mata yang melihatku…

Kini…
Langit terlihat mendung, awan putih tak dapat menemuiku
Seakan aku sendiri dalam kesunyian…
Terkadang aku merana, merasa terpenjara
Aku tak sanggup bermuara, sungguh aku bosan pada secerca derita

Kenapa…? Takdir menjadikanku bagai senja, meski sering dipuja
Tapi aku tak ingin terluka, terluka karena cinta dan harus menyisakan air mata

Wahai senja…
Dapatkah aku bertahan sepertimu
Walau gerimis kau tetap terlihat indah
Walau mendung kau tetap mempesona



Takdir Senja

Biasmu masih terlihat, diujung pelupuk mata
Berbayang dalam gelap, menjauh untuk lenyap
Suaramu jelas terngiang, saat raga mulai terbang
Berbisik pelan hingga terkenang, mengubah mimpi menjadi karang…

Alasanku untuk bertahan, melihat senja diatas awan
Agar aku mampu menerawang, sinarmu yang semakin gemilang…
Hembusan kata menerpa jiwa, melekat asa agar merdeka
Dalam penjara cinta durka, merantai kisah dalam dada…

Terkadang aku ingin…
Agar senja tak berganti, mengubah coraknya menjadi kelam
Terkadang aku ingin…
Agar takdir tak kejam, menyiksa naluri anak cucu adam



Diantara Senja

Langit… Mulai kemerah-merahan, aku teringat saat itu
Kita masih duduk, tepat disini. Disenja sore hari…
Namun, kenapa…?
Waktu seakan tak berpihak padaku
Saat aku mulai yakin, kau terlihat berpaling

Lihat angin itu..! Mereka terlihat berbisik
Mencoba menertawakan perihku
Serta kegalauan rasa yang datang memburu
Kamu tak tahu, bagaimana aku…?
Kerapuhanku yang kian terjatuh, bersama buliran kecil dari mataku
Dimana lagi aku harus mengadu…?
Saat hati tertusuk sembilu, tercabik pilu hingga layu

Senja… Aku masih memandangmu, menerka memori ingatanku tentangnya
Seseorang yang merampas cintaku…
Ya senja… Hanya kamu saksi bisu, saat ia meninggalkanku disini
Dibawah sinarmu dia pergi berlalu untuk sebuah keputusan yang menusuk kalbu
Menerangkan status palsu, antara dia dan aku…

Minggu, 22 September 2013

Si Noni Jembatan Musi II



Sudah puluhan tahun terdengar kisah keangkeran Jembatan Musi II Palembang. Berdasarkan cerita dari mulut ke mulut disebutkan bahwa di jembatan yang membelah Sungai Musi daerah Tanggo buntung itu ada hantu wanita berrambut pirang yang cantik jelita. Hantu yang dipanggil Noni itu, kata mereka yang percaya, konon menghuni Jembatan Musi II sejak jembatan itu dibangun tahun 80-an silam. Kabarnya, orang yang pertama kali bertemu hantu itu adalah Kasim bin Hairul, kuli bangunan yang kala itu sedang buang hajat di lokasi bangunan. Berita ini menyebar pada tahun l987, saat pondasi jembatan sedang dikerjakan. Habis buang hajat, Kasim bertemu wanita cantik yang mengaku bernama Noni. Setelah Kasim mencumbui Noni, Kasim lalu di dorong Noni ke Sungai Musi dan mati tenggelam. Sedangkan temannya, Rosihan, saksi mata peristiwa itu, kini setengah gila dan tinggal di Tebing gerinting, 40 kilometer sebelah tenggara kota Pelembang.
Selanjutnya, peristiwa mengerikan terus menerus terjadi di jembatan itu. Empat pria pemabukan yang baru saja pulang dari Bar Talang semut Music Longue melihat Noni di pagar jembatan sambil merokok. Melihat ada perumpuan cantik sendirian tengah malam di jembatan yang jauh dari perumahan penduduk, Hardi yang sedang menyetir, spontan memberhentikan kendaraan. Peristiwa itu berlangsung pada malam Selasan Pon Desember 2000. Karena tidak tahu adanya cerita hantu jelita di jembatan itu, maka di malam yang na’as tersebut keempat lajang pemabukan itu memberhentikan mobilnya dan mendekati Noni. Kecantikan Noni sungguh menyilaukan mereka. Maka itu, dua dari empat pemuda itu nekat memeluk dan mencumbui Noni di dalam Toyota Kijang mereka. Sedangkan yang dua lagi, menunggu sambil merokok di bibir jembatan. Habis bercumbu, dengan tenaga yang superkuat Noni menyeret kaki kedua lajang itu dan menceburkannya ke dasar sungai. Tiga hari kemudian mayat dua laki-laki itu ditemukan 900 meter dari lokasi kejadian.
Suasana berubah mencekik kesunyian malam, semua terdiam membisu selesai mendengar cerita Wak Biyah. Wanita paruh bayah ini mengulas kembali peristiwa angker Jembatan Musi II yang terletak 2 Kilometer dari Rumahnya. Kami mulanya hanya ingin bertamu kerumah Wak Biyah karena harus menyampaikan amanat dari Abah (Ayah), kini sepertinya harus berfikir satu juta kali untuk pulang kerumah malam ini. Mengingat hari makin larut malam dan jalan arah pulang harus melewati Jembatan Musi II. Kak Dika, Mulim dan Aku terpaksa mengurungkan niat kami untuk pulang. Apalagi ini malam jum'at kliwon membuat parno keadaan. "Kak, aku nak pipis," ucapku memelas. "Yo sudah sano kebelakang," perintah kak Dika. Aku mengembungkan pipiku lalu pergi kebelakang, tentu saja aku melapor padanya karena takut untuk pergi sendiri, hingga aku terpaksa memberanikan diri. Toilet Wak Biyah masih terbilang tradisional, dindingnya terbuat dari potongan bambu yang kerap disebut jamban karena letaknya yang lumayan jauh tepat dibibir sungai, aku harus melewati jembatan kecil terbuat dari kepingan papan agar bisa sampai ke jamban itu. Jamban yang tidak tertutup atap itu membuat pemandangan Jembatan Musi II terlihat jelas dari sini, sebenarnya aku ketakutan melirik Jembatan Musi II setelah menyimak kisah Wak Biyah beberapa menit yang lalu, namun kusingkirkan rasa itu sejauh mungkin. Selesai aku buang air kecil, aku segera bergegas kembali masuk Rumah Wak Biyah. Ketika baru setengah perjalanan ada seseorang berseru memanggil namaku dengan nada lirih "Lea..." spontan aku menyauti panggilan itu "Iya..." ucapku sembari menoleh kebelakang dan tidak ada siapapun hanya ada hamparan sungai musi yang terombang-ambing oleh arus. "Wak,,,!!" teriakku saat tiba di Rumah Wak Biyah. "Ngapo, Le?" tanya wak Biyah. "Tadi, uwak manggil aku dak?" tanyaku kembali. "Idak..." tegas Wak Biyah. "Nah, kau Le... Antu banyu kalu yang manggil kau," sahut Mulim. “Huss, jangan galak baseng ngomong!!” ucap Wak Biyah. “Iyo, kau itu nah antu banyunyo Lim,” ledekku kesal pada Mulim. “Makonyo kalo ado wong manggil tu, jangan langsong disauti. Tungguke tigo kali baru nyaut,” Kak Dika ikut berkomentar.
Pada saat yang lain terlelap tidur, mataku masih saja terbuka sempurna. Biasanya aku sudah bermimpi jam segini, tapi tidak untuk malam ini. Kenapa aku sangat penasaran dengan suara lirih yang memanggilku tadi, apa hantu Noni itu benar nyata atau hanya fiktif belaka. Tetapi keadaan Jembatan Musi II memang sunyi tanpa seorangpun yang lewat, semua terlihat jelas dari jendela Rumah Wak Biyah. Aku masih saja menatap Jembatan Musi II yang penuh dengan kemistisan itu, dari balik jendela aku melihat seseorang pejalan kaki berjalan menuju Jembatan Musi II dan sepertinya aku mengenali baju yang dikenakan oleh orang itu. “Oh, tidak…” aku memang kenal, itu Mulim. Aku berlari keluar dan mengejar Mulim yang terus berjalan menuju Jembatan Musi II, entah apa yang ingin Mulim lakukan. “Mulim…” aku berteriak sekuat mungkin namun tak juga Mulim berhenti atupun menoleh. Aku masih berlari mengejar Mulim, tiba-tiba langkahku terhenti dikejutkan oleh sosok perempuan berrambut pirang, berbaju merah sedang berdiri dibibir Jembatan Musi II “Oh Tuhan, perempuan itu pastilah hantu Noni yang diceritakan Wak Biyah,” gumamku dengan nyali menciut. Kaki dan tanganku tak lagi bisa bergerak, rasa takut akan sosok itu telah melumpuhkan sendi-sendiku. Sedangkan Mulim masih saja berjalan lurus seperti orang terhipnotis bahkan Mulim mengabaikan teriakkanku yang memanggil namamya, mungkin akibat pengaruh hantu Noni. Dan sosok mahluk gaib itu masih saja tetap berdiri dipagar Jembatan dan mentapa kedepan, dengan begitu artinya mata hantu itu tidak mengarahku yang sedang ketakutan. Sementara itu, tidak ada satupun kendaraan yang lewat malam ini, baik kendaraan roda dua maupun roda empat. Jembatan ini memang ditakuti dan jarang sekali orang memilih melewati jalur Musi II ketika ditengah malam.
Sekitar pukul 00.45 dinihari, tiba-tiba sosok hantu Noni menghilang dan aku mulai mampu menggerakkan tangan lalu mengucek-ngucek mataku meyakinkan bahwa mahluk itu sudah pergi dan tak lagi di Jembatan itu. Aku kembali mengejar Mulim, ternyata Mulim sedang mengigau tidur sambil berjalan. Aku menampar-nampar muka Mulim bertujuan agar ia terbangun . “Lim, bangun Lim… Lim, bangun…!!” dan itu berhasil membuat Mulim terbangun. “Le, ngapoi aku disini?” tanya Mulim heran. “Kau tu tedok bejalan tau dak,” ucapku kesal. “Aiih, dak kado Le, sejauh ini?” tambahnya. “Kendak kau Lim, aku nak balek ngantok. Kalo kau nak tedok sini lajulah, itu nah minta rewangi Noni!!” aku menunjuk kearah dimana hantu Noni berdiri beberapa menit yang lalu. Aku dan Mulim menoleh bersamaan melihat sosok perempuan berambut pirang dan berbaju merah itu sambil tersenyum kemudian melambaikan tangannya. “Aaaaaagggrrrrrttttttt……!!!!!!!!!!” aku dan Mulim berteriak lalu berlari terbirit-birit.
Hantu Noni yang merupakan keturunan Belanda ini konon bernama asli Elisse Edwind Rikkar Van Eindhven itu tewas pada tahun 1930-an akibat perkosaan dan pembunuhan misterius saat Ayahnya bertugas sebagai kepala perkebunan di Gwauran, bagian timur Palembang. Hingga sekarang Elisse yang disebut warga setempat bernama Noni, selalu muncul dimalam jum’at kliwon dan malam selasa pon. Noni akan muncul dengan rambut panjang berwarna pirang dan baju merah.

Kolong Wewe



Tong... Tong... Tong... "Lek,,, balek lek,,,!!". Tong... Tong... Tong... "Lek,,, balek lek,,,!!", suara berisik yang menggangu tidur malamku hingga aku terbangun. Entah apa yang sedang terjadi diluar sana, kejadiannya berlangsung sekitar pukul 11 malam. Semua warga kampung berteriak memangil seseorang yang tak kunjung pulang sejak sore tadi. Dari mulut kemulut ternyata memang benar, salah satu warga mendadak hilang dan katanya digondol (diculik) kolong wewe / wewe gombel begitu cerita yang kudengar dari seorang warga disekitar. Menurut cerita-cerita orang tua zaman dahulu kolong wewe dipercayai merupakan salah satu golongan dari bangsa jin. Biasanya kolong wewe sangatlah menyukai anak kecil dan sering bersembunyi dibalik pohon kawung (aren) yang tinggi, jadi jika ada anak kecil hilang sering-seringlah melihat keatas pohon itu. Lek Juminten merupakan korban kolong wewe, awalnya belum ada kecurigaan apapun dari keluarga lek Juminten hingga pukul 10 malam. Berdasarkan cerita warga yang hendak ke Musholah melihat lek Juminten berjalan sendiri kearah rimbah tepat diujung kampung. Anak dari lek Juminten yang saat itu juga heran kenapa orang tuanya tak kunjung tiba dirumah begitu panik, ada warga yang bilang "Mungkin digondol wewe", dan keluarga lek Juminten disarankan untuk berkeliling kampung mencari lek Juminten dengan mengenakan sebuah karung layaknya acara lomba karnaval agustus sambil memukul peralatan dapur seperti panci dan kuali (penggorengan) sebagai atribut. Konon katanya kolong wewe sangat tidak suka mendengar bunyi-bunyian dari peralatan dapur atau bisa juga menggunakan kentongan. Semua warga terus berkeliling dan tanpa henti memukul panci dan kuali sembari berteriak "Lek,,, balek lek,,,!!", secara berulang-ulang. Selain itu diundang pula orang pintar (dukun) untuk melacak keberadaan lek Juminten dan membantu lek Juminten masuk kedimensi nyata lagi.
Mitos kolong wewe yang kudengar hanya untuk menakut-nakuti anak kecil dengan tujuan agar jangan keluar dimalam hari, ternyata benar adanya. Namun ini versi yang berbeda bukan anak kecil yang menjadi korban melaian seorang ibu-ibu. Beberapa orang lainnya mengatakan bahwa sosok tersebut hanya fiktif belaka namun banyak juga yang mengatakan pernah melihat kolong wewe tersebut dalam wujud wanita cantik untuk mengelabui para korban khususnya agar anak kecil tidak merasa takut saat dibujuk dan dengan mudahnya ikut bersama kolong wewe. Kolong wewe itu sendiri digambarkan dengan sosok perempuan tua yang wajahnya penuh kerutan keriput, rambutnya putih, dan payudara yang panjang terlihat sangat menjijikkan. Jangan heran bila setelah ditemukan, korban akan menjadi orang yang hilang ingatan alias linglung karena itu adalah ulah dari kolong wewe.
Pencarian masih terus berlangsung hingga pukul 12 malam, aku masih saja duduk didepan rumah bersama warga lainnya. Kemudian terdengar teriakan seseorang dari kejauhan "Kuntilanak... Kuntilanak...", mereka berlarian kalang kabut. Para rombongan remaja kampung yang ikut berpartisipasi mencari lek Juminten, mengaku melihat sosok wanita berambut panjang dengan gaun berwarna putih yang sedang duduk manis diatas pohon besar. Tentu saja mereka berlari ketakutan dan menduga sosok itu adalah makhluk gaib sebangsa kuntilanak. Memang kuntilanak sangat senang menampakkan wujudnya untuk menakuti manusia. Apalagi jika ada ibu hamil atau bayi karena kuntilanak sangat senang menggangunya.
Beberapa jam kemudian, warga mengatakan bahwa lek Juminten telah pulang kerumah sekitar pukul 1 malam. Usut diusut saat lek Juminten diintrogasi atau ditanya-tanya, lek Juminten mengaku telah diajak oleh 2 sosok yang mengenakan pakaian serba hitam. Lek Juminten tidak begitu tahu bahkan tidak mengenali sosok itu, lek Juminten hanya fokus berjalan lurus mengikuti sebuah cahaya yang dikeluarkan oleh sosok itu dan tiba-tiba lek Juminten mulai tersadar saat sedang duduk dibawah pohon jati besar. Saat itu lek Juminten kebingungan, kenapa tiba-tiba lek Juminten berada disini sendirian. Lalu akhirnya lek Juminten meninggalkan pohon jati dan segera pulang kerumah. Syukurlah lek Juminten bisa kembali tanpa kurang apapun.
Jika dilihat dari mitos yang ada, saat seseorang telah digondol kolong wewe dan sempat memakan cacing atau belatung yang diberikan oleh kolong wewe maka orang itu tidak akan bisa kembali lagi, karena harus tinggal bersama kolong wewe untuk dijadikan sebagai pengikut.
Keesokan harinya kampung menjadi sunyi, tidak ada seorangpun yang keluar rumah pada malam hari setelah peristiwa lek Juminten digondol kolong wewe. Apalagi ibu-ibu yang mempunyai anak kecil, melarang anaknya untuk pergi bermain sendirian. Meskipun mitos kolong wewe ini masih samar kebenarannya tetapi tetap saja dipercayai oleh sebagian masyarakat memang ada. Maka dari itulah kita perlu waspada, mungkin suata saat sosok kolong wewe muncul disekitar kita. Hiii....

Lanjut kecerita berikutnya   Si Noni Jembatan Musi II