Sabtu, 06 Desember 2014

Logika Hati



“Dena, mana Lis?”
Arman masih saja mencariku, ia selalu mendesak dengan berbagai cara, agar aku segera memberi jawaban atas perasaannya padaku.
“Den, Arman nyari lo tuh?” tanya Lisa padaku.
“Ah, bilang aja gue lagi sibuk.” perintahku pada Lisa.
“Kalian aneh deh, satu kantor tapi main kucing-kucingan.” Lisa berlalu dari ruanganku.
Aku tahu ini memang konyol, entah berapa banyak lagi laki-laki yang akan mencari-cari keberadaanku. Aku seperti koruptor cinta saja yang harus siap siaga menghindari rentenir penagih hutang. Aku tidak merasa pernah mengumbar cinta pada mereka. Mereka seakan menghampiriku seperti lalat yang menghinggapi makanan, tanpa harus diundang mereka datang dengan sendirinya.
“Den...” Lisa kembali masuk ruanganku.
“Apa lagi Lisa, bilang aja sama Arman gue lagi nggak mau diganggu!” ucapku kesal.
“Bos, manggil lo tuh.” jelas Lisa.
“Hah, editing lagi.” keluhku.
Kini aku telah sampai tepat didepan ruangan bos, aku mengatur napas sembari merapikan penampilanku dan mulai memasuki ruangan.
“Permisi Pak?”
“Iya, silakan,”
“Maaf Pak, ada apa ya?”
“Begini, ada tawaran menarik untuk kamu,”
“Tawaran... Tawaran apa ya Pak?”
“Kamu akan saya promosikan sebagai Manager Directing,,,”
Aku tersenyum kecil, jabatan Manager Directing merupakan mimpi besarku. Ini kesempatan emas untuk karirku.
“,,,dengan syarat kamu harus mampu menulis artikel tentang cerita cinta anak SMA”.
'Jleeebb...' semangatku down seketika saat menyimak kalimat terakhir bos. Cerita cinta., mana mungkin aku bisa menulis itu. Kisah cinta adalah kelemahan terbesarku, aku saja sudah lupa kapan terakhir jatuh cinta, setelah patah hatiku beberapa tahun yang lalu.
“Den, ada undangan makan malem nih dari Kevin. Terus nge-date dari Jody”
“Buat lo aja,”
“Males banget,” Lisa mengernyitkan dahinya.
“Lagian, mereka ngga bosen apa yach. Udah gue cueki juga,”
“Yaelah,,, namanya juga usaha Den”.
Cinta...? Apa itu cinta, semua orang beragumentasi seakan memberi gambaran bahwa cinta sangatlah indah tapi, sebenarnya apa itu cinta?
Cinta itu proses untuk bisa saling mengerti dan memahami satu sama lain. Jika kita tidak mengerti maka kita tidak dapat memahami, dan jika kita bisa memahami belum tentu kita dapat mengerti.
Aku membaca artikel terbitan bulan lalu yang ditulis oleh Arman. Priat itu seakan punya sejuta cinta dihatinya. Arman begitu pandai mendeskripsikan bahasa cinta mengalir dalam sebuah tulisan.
Aku mencoret-coret note agenda harianku. Semua taman terlihat kotor oleh kertas-kertas lusuh yang aku lempar sesuka hati. Aku bingung harus menulis dari mana, tak ada ide bahkan imajinasi dibenakku.
“Dena...” teriak seseorang.
Aku menolehkan pandanganku dan ternyata sudah ada Arman yang menghampiriku.
“Ngapain disini?” tanya Arman
“Lagi cari ide” jawabku jutek
“Dikasih tema apa sama bos?” tanya Arman lagi
“Kepo banget sih lo” jawabku makin jutek
“Mau sampe kapan kamu giniin aku terus, Den.”
Aku menatap mata Arman dengan lekat, ada sejuta tanya yang tersimpan dimatanya atas sikapku padanya selama ini. Namun bisa apa aku, hatiku telah lama mati. Hanya ada duka tersimpan yang kini berselimut luka.
Sorry, gue duluan” aku buru-buru pergi
“Dena, tunggu dulu,” jegah Arman
“Apa lagi sih”
“Kita perlu bicara?” pinta Arman
“Udahlah lupain aja” jawabku santai
“Tapi Den,,,”
Aku pergi meninggalkan Arman sendiri.
“Den,,, Denaaa...”
Aku memang keras kepala dan egois, Arman begitu baik padaku. Hanya Arman yang dapat mengerti aku.
*****
“Den, gimana tulisan lo udah jadi?”
“Ah, gue nyerah aja Lis.”
“Lho, kenapa?”
“Gue nggak mampu nulis. Padahal udah research.”
“Tapi, saingan lo...”
“Siapa?” tanyaku heran
“Emm, Arman.”
Aku seakan tak percaya, Arman menjadi sainganku untuk jabatan manager directing. Sepertinya aku akan kalah karena aku memang tidak mampu menulis dengan tema cerita cinta.
“Udah yang penting tulis aja dulu.” Lisa menyemangatiku.
“Iya deh, gue coba.”
Aku duduk sembari menatap segelas chapucino hangat tersaji dimeja kantin. Aku mulai berfikir kenapa hatiku seakan beku, setelah Bram meninggalkanku demi wanita lain. Rasanya ini tidak adil, untuk orang yang tulus mencintaiku apa adanya seperti Arman. Aku terlalu menutup hati karena takut terluka lagi. Selama ini hanya Arman yang mengerti keluh kesahku, Arman yang menjadi tempat curahan hatiku. Arman telah menunjukkan pribadi yang baik sebagai seorang sahabat. Sedangkan aku, aku berubah sikap menjadi sinis hanya karena Arman mengakui perasaannya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan perasaan Arman padaku, Arman punya hak untuk mencintai siapapun, termasuk aku.

Aku sudah siap dengan amplop putih ditanganku yang berisi surat pernyataan.
“Lo serius Den?” tanya Lisa ragu.
“Iya Lisa, gue siap.”
Tiba-tiba Arman menghampiri aku dan Lisa yang sedang berdiri didepan pintu ruang bos.
“Kalian ngapain disini?” tanya Arman.
“Bukan urusan lo.” jawabku cuek.
“Dena mau nyerahi surat pernyataan sama Pak bos.” ucap Lisa
“Surat apa?” tanya Arman heran
“Gue mau resign.” jawabku singkat
“Serius Den, kenapa? Apa karena kamu nggak mau saingan sama aku. Aku siap mundur demi kamu tapi, jangan pernah berfikir untuk resign.” jelas Arman
Arman seakan tak ingin aku jauh darinya. Aku memang sering mendapati Arman curi-curi pandang memperhatikanku dikantor. “Ah, berisik lo.” ucapku sembari pergi meninggalkan Arman dan Lisa. Aku kembali kemeja kerjaku. Aku memang tidak bisa menulis secara profesional. Aku menulis sesuai hatiku saja tapi, menulis adalah pekerjaanku. Aku wajib untuk menulis.
*****
Seminggu kemudian, ini adalah penentuan siapa yang akan layak ditempatkan pada posisi manager directing. Aku sudah berusaha semaksimal mungkin menulis, walaupun mengalami beberapa hambatan. Aku mampu menyelesaikan tulisan dengan waktu yang tersisa dari deadline yang diberikan. Aku menulis semampuku meski tidak sebagus tulisan Arman, hingga menghantarkannya resmi menjadi manager directing.
Walaupun kini aku hanya patner menulis Arman, setidaknya aku bisa mengerti apa itu cinta. Cinta Arman memberikan inspirasi baru dalam menulis. Aku melihat perjuangan Arman mengejar cintaku, dan seperti itulah aku mencintai menulis. Ketika kita sudah memulai menulis, maka tuntaskanlah sampai akhir. Seperti itulah kecintaanku terhadap dunia menulis.
Arman menghampiriku yang saat ini berada di taman sekitar kantor. Arman sangat paham dimana tempat aku singgah disaat seperti ini. Kini Arman telah duduk disampingku. Aku segera menyapu buliran kecil dipipiku, efek dari hasil penetuan bos.
“Aku minta maaf Den.”
Aku tersenyum mendengar pernyataan Arman, ini sudah kesekian kalinya Arman memohon maaf.
“Selamat ya, Arman Septama.” aku mengulurkan tanganku, Arman seakan tak percaya melihat sikapku saat ini, lalu dengan segera Arman menyambut jemariku.
“Aku tahu, aku salah sama kamu Den. Aku...”
“Sssttt...” aku menyentuh bibirnya dengan ibu jariku, isyarat agar Arman tidak lagi menyalahkan dirinya.
“Cinta itu hak semua orang dan lo berhak punya perasaan itu. Kamu tidak perlu menyalahkan diri lo.”
“Den, ada baiknya kamu nggak perlu jadi patner kerjaku lagi.”
“Iya, gue udah fikiri itu Ar, mungkin lusa gue akan mengundurkan diri.”
“Kalau kamu nggak keberatan. Aku mau kamu jadi patner hidupku Den, menjadi seorang ibu untuk anak-anakku, menghabiskan waktu menua bersama. Selamaya...”
Aku menatap wajah Arman dengan sejuta rona bahagia. Moment ini adalah hal romantis yang pernah aku dapatkan dalam hidup. Arman tak hanya pandai menulis artikel tentang cinta tapi, Arman juga sangat pandai meluluhkan hatiku dengan sejuta kata cinta. Arman mulai meraih tanganku, lalu mengecup jemariku, kemudian berkata
Will you marry me, Dena Amalita?”
Aku semakin terpesona dibuatnya, ini adalah saat-saat yang pernah aku impikan. Aku yakin Arman tulus dan akan membuatku bahagia dimasa depan hingga akhir hayat.

Yes I will, Arman Septama.”

SELESAI

Thanks Thumbstory :*




Selasa, 17 Juni 2014

“Doa Penulis”



Memulaisesuatu dengan do'a memang terasa begitu indah. Suka bermain dengan imajinasi,seringnya berkhayal menambah lengkap lembaran warna pena yang terkemas cantik dalamsebuah tulisan kita. Menulis bukan sekedar hoby tapi perlahan menjadi kebiasaanyang membuat kita beranjak menjadi “imagination writing”. Ceritakuberawal ketika aku duduk dibangku Sekolah Menengah Pertama dengan modal diarykecil, aku mulai belajar menggoyangkan jemari untuk sekedar menerangkan apayang sedang menggangu perasaanku dengan mengubahnya kedalam sebuah tulisan.
Sungguhindahnya menulis, menulis membuat kita paham akan sebuah karya sendiri dan jugasecara langsung dapat mengukur kemampuan yang dimiliki, tidak hanya itu saja.Ketika kita tidak kuasa berkata jujur secara lisan, kita dapat mengungkapkannyadalam bentuk tulisan cantik. Menulis memang tidak membutuhkan curahan tenagayang besar, cukup mengatur daya khayal sebagai kerangka kata kemudian menjelmamenjadi kalimat-kalimat bernilai sastra.
Butirankarya tercipta begitu saja, menumpuk dan tersusun rapi disudut meja belajarku.Tidak jarang kusempatkan membuka serta mengulang kembali tulisan itu dalamkagumku sendiri. Namun alangkah bahagianya jika tulisan kita terjamah olehpembaca yang gemar melirik bacaan.
Impianmenjadi penulis berakhlak mulia seakan jadi motivator khusus yang tidak pernahsurut. Bagiku sebuah tulisan adalah do'a karena pembacanya merupakan penghantardo'a tersebut. Makin banyak orang membaca karya kita, maka akan semakin banyakdo'a yang siap kita sambut nantinya. Sejauh ini saya niatkan dalam hati bahwamenulis merupakan bagian dari ibadah berharap sebutir karya yang terciptamenjadikan pintu senyum bagi pembacanya.

Senin, 05 Mei 2014

Sahabat Terbaikku





Sahabat terbaikku
Inilah hidup, kadang kita membuka
Suatu saat kita akan menutup
Sahabat terbaiiku…

Ribuan jalan yang telah dilalui
Berbagai rintangan telah dilewati
Penuh wewangian bunga dan bertabur duri
Penuh suka maupun duka…

Saat berpisah harus menyapa,
Ku tak ingin kau meneteskan air mata
Ku tak ingin kau berduka
Karena hati kita tetap bersama…

Namun, kita telah tahu
Kita tak selamanya dapat bersatu
Menempuh jalan yang bertabur debu
Bertabur dedaunan yang tak perna tersapu…

Semua bukanlah sekedar kenangan
Semua bukanlah sekedar renungan
Saat kita dalam kebersamaan
Dalam suka maupun pengorbanan…

                                By: Rovian Halim Saputra  

Jumat, 28 Maret 2014

Esok Kan Bahagia



Kesedihan hari ini
Bisa saja jadi bahagia esok hari
Walau kadang kenyataan
Tak selalu seperti apa yang diinginkan

Kan ku ikhlaskan segalanya
Keyakinkan ini membuatku bertahan
Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapi
Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya

Walau kadang kenyataan
Tak selalu seperti apa yang diinginkan

Kan ku serahkan semuanya
Keyakinan pada-Nya menjadikanku tenang

Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapi
Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya (pasti ada hikmahnya)
Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpi
Tuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah (lebih indah)

Harus yakin (harus yakin)
Pasti bisa (pasti bisa)

Hidup yang ku jalani, masalah yang ku hadapi
Semua yang terjadi pasti ada hikmahnya (pasti ada hikmahnya)
Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpi
Tuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah (lebih indah)

Ku kan terus berjuang, ku kan terus bermimpi
Tuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah
Tuk hidup yang lebih baik, tuk hidup yang lebih indah
(hidup yang lebih indah)

Kesedihan hari ini
Bisa saja jadi bahagia esok hari

Jar Of Heart







I know I can't take one more step towards you
Cause all thats waiting is regret
Don't you know I'm not your ghost anymore
You lost the love I loved the most

I learned to live, half alive
And now you want me one more time

Who do you think you are?
Runnin' 'round leaving scars
Collecting a jar of hearts
Tearing love apart
You're gonna catch a cold
From the ice inside your soul
Don't come back for me
Who do you think you are?

I hear you're asking all around
If I am anywhere to be found
But I have grown too strong
To ever fall back in your arms

Ive learned to live, half alive
And now you want me one more time

Who do you think you are?
Runnin' 'round leaving scars
Collecting a jar of hearts
And tearing love apart
You're gonna catch a cold
From the ice inside your soul
Don't come back for me
Who do you think you are?

It took so long just to feel alright
Remember how to put back the light in my eyes
I wish I had missed the first time that we kissed
Cause you broke all your promises
And now you're back
You don't get to get me back

Who do you think you are?
Running around leaving scars
Collecting a jar of hearts
And tearing love apart
You're gonna catch a cold
From the ice inside your soul
So don't come back for me
Dont come back at all
[x2]

Who do you think you are?
Who do you think you are?
Who do you think you are?

Kamis, 27 Maret 2014

Bukan Aku






Aku mulai merasakan tubuhku melambung, begitu ringan bagai helaian kapas. Entah kemana angin akan membawaku dan semua sudut terlihat bersinar, kini aku melihat sosok perempuan yang wajahnya sangat kukenal. Wanita yang seringkali mencium keningku saat aku terlelap, ya... Itu Mama, beliau sangat cantik dengan balutan busana putih ditubuhnya dan penutup kepala berwarna senada. Mama tersenyum padaku, Mama membentangkan kedua lengannya untukku. Seakan memberi isyarat agar aku mendekat padanya. Aku harus berlari sekuat tenaga hingga jatuh kepelukan Mama dan tak ingin lepas lagi untuk selamanya tapi...
"Keyraaaa.... !!" sebuah suara melintas "Itu Dika! Astaga Dika. Mengapa dia disini? Bukankah dia? Apa Dika sudah bisa melihat sekarang? Kalau benar begitu, syukurlah". Aku hanya tersenyum bahagia melihat Dika, lalu aku berlari menghampiri Mama. Dan semakin lama, aku semakin melambung tinggi. Dari kejauhan aku masih melihat Dika duduk sambil menatapi lantai. Aku juga masih sempat melihat Dika berteriak, namun aku tak bisa mendengar apa yang diteriakkannya.
Senja berganti, malam yang hening. Terdengar jelas suara bening, mata berbinar air hujan menetes. Kering harapan menepi tergores...
Aku masih saja menulis sajak tentangnya didiary kesayanganku. Tiba-tiba nada dering ponselku mengacaukan kosentrasiku, sebuah message muncul dilayar .
Sender : Rubi
Keyra, buruan! Kita udah garing nunggui lo! Aku menepuk jidatku yang tidak ada nyamuknya, "ya Tuhan, aku lupa ada janji ketemuan sama anak-anak!" ucapku. Dengan cepat segera ku goyangkan jemari untuk mereply message dari Rubi.
To : Rubi
Ok! Bentar ya! Gue lagi on the way.
Lalu kupencet tombol send yang ada dihandphoneku. Yupz... Bener banget aku lagi on the way sekarang, maksudnya on the way go to bathroom. Aku sengaja berdusta agar semuanya tidak melemparkan senyum masam kepadaku nantinya. Aku bergegas menguyur tubuhku, menyusul dengan memakai pakaian seadanya. Sedikit menaburkan bedak diwajahku dan mengoleskan lip gloss dibibirku. Dengan langkah memburu, aku melesat secepat kilat. "Guys, maaf banget ya! Gue...", seketika aku terdiam. Aku tidak kuasa meneruskan ucapanku karena mereka memperluas ruas bola mata masing-masing dan tanpa henti melotot padaku, seakan-akan ingin menelanku hidup-hidup. Aku hanya nyengir lima jari "Gu.. Gu..e.. Itu...tadi...anu.. Ehm...!!" suasana masih terlihat beku, mereka masih saja menatapku dengan bengisnya, "Ah... Kalian! Bercanda deh. Nggak lucu tahu. Hayukk deh, kita cap-cus! Ntar kagak dapet tempat yang paling....." "Keyraaa.....!!" teriak mereka serentak, Jeduaarrr!!! Oh... Tidak matilah aku. "Iya, iya...!! Maaf, tadi gue baru nulis diary terus lupa. Yaah, lo semua pada tahu dong, subject didiary gue. Pastinya Dika". "Makan itu Dika!" Rubi menoyor kepalaku dengan gaya super tomboynya, berlalu dari hadapanku. "Otak lo isinya Dika mulu ya?" Vina yang jutek ikut menimpali, "Haluw! nona stress, segitu pentingnya Dika lagi Dika lagi?" Mily yang centil tidak ingin ketinggalan memojokkanku. Aku memonyongkan bibirku yang kini mengekor dibelakang mereka menuju festival band di taman kota.
Selesai menyaksikan festival band yang sangat membosankan itu, aku dan yang lain melanjutkan hangout menuju pertandingan basket antar kampus. Senangnya kali ini aku dapat melihat wajahnya yang indo berlaga dilapangan. Ya, Dika merupakan captain basket tersohor dikampus. "Astaga...!! My prince, My honey bunny sweaty, My soulmate, My love and everything!!" Aku berdecak kagum saat melihat Dika keluar memasuki arena pertandingan sambil men-driblle bola basket dengan kerennya.
"Keyraaaa.... !!" Rubi, Vina, dan Mily berteriak sembari menolehkan pandangannya kearahku agar aku mampu bersikap manis sehingga tidak terkesan norak atau malu-maluin. Hah,, aku menyesal harus menyaksikan pertandingan ini bersama mereka yang sudah jelas tidak menyukai Dika, sejak tahu aku mulai jatuh hati dan memutuskan untuk menambatkan hatiku padanya. Bagaimana tidak, perawakan tinggi dengan motor sport yang senantiasa berada disampingnya, ditambah lagi statusnya sebagai atlet basket, tidak mengherankan kalau Dika adalah Most Wonted dikampus. Jadi, banyak banget wanita yang antri mau jadi pacarnya. Termasuk aku! Hehe... Tapi, sayangnya diantara jutaan wanita hanya aku yang tidak pernah dihiraukannya. Entah karena dia tak tahu perasaanku yang sudah terlalu lama terpendam ini atau karena dia tak akan pernah sudi dekat denganku. Aku yang tak cantik, tak menarik, dan tak populer sepertinya. Meskipun begitu, aku belum juga lelah untuk menantinya. Entah karena apa aku mencintai dan menantinya, padahal aku sadar bahwa aku hanya bisa bermimpi untuk bersamanya. Namun, mencintainya adalah hal terindah dalam hidupku. Semua sahabatku telah muak mendengar celotehanku tentang Dika, mereka selalu memalingkan wajah dan pura-pura sibuk atau mencari-cari alasan untuk menghindar.

Aku tak hentinya selalu mengingatmu, mencuri pandangan untuk melihat senyummu. Tapi, terkadang aku lelah harus terus menjadi bayangan dimatamu, atau menjadi penghalang langkahmu. Anganku melayang mengetuk gerbang cintanya. Namun tetap saja tertutup....
Hahh, aku masih saja menulis sajak-sajak kelabu tentangnya, berharap susunan kata ini sampai kepelupuk matanya hingga merasuk kedalam lubuk hatinya. Dering handphone seketika membuyarkan lamunanku, aku melirik layar handphone dan tertera sebuah nama yang sangat kukenal.
"Mily...", dengan malas aku memencet tombol hijau dihandphone.
"Halo !"
 "Key, temeni gue yukz !"
"Kemana ?"
"Salon !"
"Gue males ah! Ajak yang lain aja deh!"
"Aduh...! Rubi latihan karate. Vina ada les balet, lo ngak lagi sibukkan ?"
"Gue....mau.... Emmm....itu...." sial sekali, aku tak memiliki ide untuk menolak.
"Gue ngak mau tau pokoknya lo, gue tunggu ditaman komplek"
Tut... Tut... Tut…
Aku beranjak dengan malas, lalu bergegas mengganti baju. Aku mengenakan blus bercorak bunga hijau tosca dan jeans biru tua, aku segera mengambil kunci motorku dan menuju taman komplek. Mily telah sampai saat aku datang lalu menghampiriku dan kita langsung menuju salon langganannya. Aku memarkirkan motor matic kesayanganku didepan salon, dan mengikuti langkah sahabatku yang amat centil itu. Aku tercengang mendapati seseorang sedang duduk diruang tunggu, aku menghampiri lalu duduk disampingnya dan seketika dia menolehku dengan melemparkan senyuman manis. Jantungku berdetak kencang, aliran darahku berdesir cepat. "Ya Tuhan.. Mimpi apa aku semalam! Indah sekali senyumnya". Monologku dihati, sambil cengar-cengir kuda nil. Tak beberapa lama seorang wanita cantik datang menghampiri kami, dan aku mengenali sosok itu. Aku mencoba menerka, untuk memutar memoriku.
"Kinan.... !" teriakku., menunjuk seseorang hingga membuat wanita itu dan juga Dika menoleh secara bersamaan kearahku.
"Siapa ya ?"
"Gue... Keyra, lupa ya?"
"Oh.. Keyra! Apa kabar?" dan kami berpelukan,
"Baik, lo kemana aja Kin? Gue kangen tahu"
"Maaf, gue pindah ngak sempet pamit"
"Eh, sama siapa kesini Kin?"
"Oia, kenalin nih, Dika ! Tunangan gue"
Jeduuuaaaaarrr........!!!!
"O....!"
Hanya itu kata yang keluar dari mulutku. Tunangan, sejak kapan Dika telah tunangan. Tidak ada kabar apapun dikampus jika Dika telah tunangan, apa hanya aku satu-satunya orang yang tidak mengetahui kalau Dika memang telah tunangan. Sakit sekali pernyataan itu, hingga hatiku seketika terasa nyeri. Dan sepertinya Dika terlihat sangat buru-buru, lalu mereka berbincang dengan mesranya. "Keyra, duluan ya!" ucap Kinan menyadarkan kegalauanku, "Oh... Iya iya !"
Kemudian mereka menjauhiku yang sedang terluka, hu...hu... Hancur hatiku bagai gelas yang tersepak angin puyuh hingga pecah dan berserakan dilantai. Dika masih sempat menolehku, memandangiku beberapa saat, lalu hilang dibalik pintu. Aku kembali duduk diruang tunggu, kemudian Mily datang menghampiriku dengan memperlihatkan tatanan rambut barunya. "Key, gimana penampilan gue? Cantikkan!" "Pulang yukz Mil, gue capek!" Aku menjawab ketus pada Mily, sembari berdiri lalu beranjak melangkah. "Eh, apa ini?" Mily memungut sesuatu dari bawah kursi, "Cincin!"
Aku spontan merampas cincin itu dari tangan Mily, kucoba melihat lingkar cincin terukir 2 huruf D&K.
Malam yang dingin, sudah pukul 11 lewat namun aku belum juga dapat memejamkan mata. Padahal biasanya jam segini aku sudah bermain-main dialam mimpi. Aku mengambil cincin yang terjatuh disalon, kuamati cincin yang kini telah berada ditanganku. "Seandainya saja 2 huruf D&K yang terukir ini adalah Dika & Keyra, bahagianya" gumamku, kucoba keisenganku menyematkan cincin kejari manisku. Aku membolak-balik jemariku sambil senyum-senyum sendiri. Ketika berniat melepas cincin tiba-tiba "Astaga!!" cincinnya sulit terlepas. Sekuat apapun aku menarik, tetap saja cincin itu melingkar dijari manisku. "Hah, yasudahlah, " jika terus kupaksa itu akan melukai jemariku nantinya.
Pagi hari, aku melirik kesemua arah ketika aku sampai diparkiran, kulihat jam ditangan kiriku pukul 07.35, biasanya Dika sudah datang tapi kali ini aku tak melihat motornya diparkiran. Dan saat aku melangkah menuju koridor, ada sosok yang kucari disebrang sana, berusaha menyebrangi jalan. Aku mencoba menghampirinya, dengan alasan mengembalikan cincin yang jatuh saat disalon, tiba-tiba dari arah kanan aku melihat mobil dengan kecepatan dahsyat, melintas dan Dika mulai melangkah diantara jalan raya itu kemudian, "Dika.....!!! Awas.....!!" "Aaaaaaa......" teriak Dika dan "Braaaaakkk....." mobil itu menghantam tubuh Dika hingga terpental dengan jarak sekitar 1 meter.
Adakah jiwanya disana? Ketika raganya semu, saat matanya terpejam. Kumohon kembalilah....
Aku harap-harap cemas menunggu kabar dari Dokter, bagaimana keadaannya sekarang. 10 menit kemudian Dokter keluar,
"Maaf, bisa saya bicara dengan keluarga pasien?" Aku bingung harus bicara apa pada dokter, hingga muncul ide gila. "Emmm.... Saya tunangannya Dok !"aku terpaksa berdusta pada Dokter "Baiklah mari ikut saya"
Aku duduk, dan kini kami saling berhadapan. Dokter muda ini mulai ancang-ancang untuk bicara serius. "Begini nona, dengan berat kami harus menyampaikan ini!" "Iya, Dika kenapa Dokter?" aku mendesak Dokter, "Tenang nona, untuk saat ini kondisinya cukup baik. Tapi, akibat benturan yang sangat keras dibagian kepala membuat pasien...." Dokter menjeda pembicaraannya, "Kenapa, Dok?" "Pasien mengalami kebutaan" "Apa...! Buta....!!"
Aku menutup mulut dengan kedua tangan tak percaya. Malang sekali tambatan hatiku itu harus menerima pukulan hidup yang tragis.
Sosok pria tampan tergeletak tak berdaya diruang ICU, wajahnya pucat pasi. Aku tak kuat membendung airmataku. Aku masih berdiri disampingnya, tiba-tiba Dika mulai tersadar. Aku mencoba memangil Suster disekitar ruangan dan disusul oleh Dokter masuk untuk memeriksa kondisi Dika. Dari luar ruangan, Dika berteriak. "Ngak.. Enggak mungkin! Aku buta Dokteeeer"
Hatiku sakit mendengar suara Dika yang terdengar miris, lalu perlahan hening, ternyata Dokter memberi suntikan pemenang untuk Dika. Keesokan harinya, aku kembali menemui Dika, dari balik pintu aku melihat Dika sedang berbincang dengan Suster, syukurlah kini Dika jauh lebih baik.
"Suster..." ucap Dika
"Ya, mas, "
"Siapa yang membawa aku kesini?"
"Tunangannya mas, dia yang menjaga mas waktu koma, "
"Tunangan....! Lalu dimana dia?"
"Mungkin, sebentar lagi ia datang. Baiklah mas, saya permisi dulu ya"
Suster keluar ruangan dan aku mencoba masuk, senangnya melihat Dika tenang hari ini. Mungkin ia telah berlapang dada menerima kenyataan pahit yang kini menimpanya. "Dika !!" aku memangil Dika pelan "Siapa itu ?" tanya Dika heran "Aaa...aku..." tiba-tiba Dokter datang bersama Suster untuk mengecek kondisi Dika. "Eh... Mbak, udah datang! Tadi mas Dika nanyain mbak loh" Suster menegur dan itu membuat Dika menyebutkan nama seseorang. "Kinan....!!" seru Dika, aku terdiam mendengar seruan Dika menyebut nama Kinan, aku lupa seharusnya aku menghubungi Kinan, karena keluarga Dika saat ini berada diluar negeri. Aku segera keluar ruangan mencoba mengecek kontak dihandphone Dika, tertera nama Kinan home, mungkin ini nomor telphone rumah Kinan dan kupencet tombol hijau yang ada dihandphone.
"Halo! Kinan..."
"Maaf, non Kinan lagi diluar kota" terdengar suara seseorang wanita paruh bayah dari sebrang sama.
"Ini siapa?"
"Ini pembantunya, ada pesan apa ya"
Tut... Tut... Tut...
Aku menutup telphone, tak ingin bicara terlalu banyak karena bukan Kinan yang ada disebrang sana. Aku harus bagaimana, apakah aku harus melakukan sebuah sandiwara demi Dika. Aku mulai menatap jendela kaca ruangan Dika, melihat senyumnya aku merasa bahagia, apa lagi jika aku berada didekatnya pasti akan terasa begitu indah. Terpaksa aku memutuskan untuk berpura-pura menjadi tunangannya untuk sementara waktu, sampai Kinan kembali.
Tanpa terasa aku telah berdusta hampir 1 bulan lamanya, aku masih saja berpura-pura pada Dika, bahwa yang selalu menemani hari-harinya, menjaganya, serta bercanda tawa bersama adalah tunangannya. Namun nyatanya aku hanya gadis yang dulu diam-diam menaruh hati padanya, berharap ia dapat membalas cintaku suatu hari nanti. Aku sangat ingin terus menjadi mata baginya. Sebuah message muncul dilayar handphone Dika.
Sender : Kinan
Bulan depan aku kembali. Kita perlu bicarakan masalah kita.
Hatiku pilu, saat membaca pesan singkat Kinan, itu artinya aku harus segera mengakhiri sandiwara ini.
Pagi ini aku merasa kurang bersemangat, bahkan wajahku terlihat pucat ketika bercermin. Mungkin aku terlalu lelah menemani Dika 1 bulan ini hingga mengabaikan kesehatanku. Aku terus memaksa berjalan kekelas, namun aku merasa tubuhku semakin lemah lalu penglihatanku sedikit kabur diiringi dengan kepalaku yang pusing dan tidak lama kemudian "Braaaak..." aku terjatuh pingsan. 2 jam berlalu, Papa mondar-mandir didepan pintu kamar rumah sakit terlihat sangat cemas. Peristiwa yang sama 3 tahun lalu, saat Dokter mendiagnosa penyakit kanker hati bersemayam ditubuhku. Beberapa menit kemudian Dokter keluar, Papa spontan menyerbu Dokter. "Bagaimana Dok, anak saya?" "Tenang Pak, sejauh ini kondisinya cukup baik. Tapi, tidak dengan kankernya yang semakin parah" Papa tahu jika umurku memang tidak dapat bertahan lama, penyakit yang kuderita kini telah sampai diambang batas, mungkin dalam hitungan hari aku akan pergi menyusul Mama.
Aku masih berbaring ditempat tidur panjang. Rasanya ini hari terakhirku, ya... Sakitku makin tak terbendung. Aku merasakan sakit yan begitu dahsyat, disampingku sudah ada Papa, Kak Airin dan ketiga best friendku.
"Pa... Keyra minta maaf, udah ngerepoti Papa" aku bicara terbata-bata pada Papa, Papa hanya diam membisu lalu mengecup keningku.
"Kak Airin, lo udah balik dari Kalimantan?"
"Iya, Kakak balik buat kamu sayang!"
"Kakak, jagain Papa ya?"
"Hus.. Ngomong apa sih, kita bakal jagain Papa sama-sama". Aku hanya tersenyum, "Key, lo harus kuat ya?" Rubi menyemangatiku
"Iya Key, ntar kita hangout bareng!!" dengan gaya centil Mily menimpali
"Kita semua sayang sama lo Key!" Vina ikut menambahi dan lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum. Aku menyerahkan sebuah kotak kecil berisi diary, cincin, foto, puisi, dan sepucuk surat kepada Rubi. "Bi, tolong kasih ini sama Dika !" Rubi menyambut kotak itu dengan wajah heran. Tiba-tiba nafasku berat, aku merintih kesakitan, detektor jantung berbunyi datar. Papa begitu gelisah, lalu ia memangil Dokter. "Sebaiknya kalian tunggu diluar !" Dokter segera menjalankan tugasnya. Sementara Papa dan yang lainnya menunggu dengan gelisah. Selang beberapa saat, Dokter keluar. Papa tak bisa menahan diri, "Dokter, bagaimana Keyra ?" Dokter muda itu hanya membisu, ia menepuk bahu Papa sambil menggeleng.
"Keyra.... !!" Papa terduduk dilantai
"Key, tega kamu biarin Kakak jagain Papa sendiri !" Kak Airin terisak. Rubi, Vina, dan Mily berpelukan "Keyraaa...!"
Disaat yang bersamaan, beberapa jam setelah Keyra meninggal, Dika mendapat kabar bahwa ada seseorang yang mendonorkan mata kepadanya. Dengan segera operasi akan dilaksanakan hari itu juga hingga operasi dinyatakan berhasil. 2 minggu setelah operasi, Dika memulai aktifitasnya sebagai mahasiswa, saat Dika melangkah dengan angkuhnya tiba-tiba Rubi mendorongnya hingga menyandar kedinding. Dika memberontak, lalu Rubi ingin menonjok wajah Dika tapi, Rubi menahan pukulannya tak kuasa melemparkan pukulan karena ia tahu mata itu milik sahabatnya. Tanpa sadar air mata Rubi jatuh, membuatnya mengcancel emosinya dan langsung menyerahkan kotak berwarna pink kepada Dika.
"Apa ini ?" Tanya Dika,
"Kenangan terakhir dari bidadari penolong yang udah rela mendonorkan kedua matanya buat lo !"
"Maksud lo ?" Dika bingung,
"Heh, lo tu jahat banget Dik sama Keyra, lo tu cowok yang nggak peka ya,, lo nggak sadar ada seseorang yang mencintai lo dengan tulus".
Keyra... !" Dika makin tak mengerti
"Iya,,, Keyra. Seseorang yang ada disamping lo waktu lo buta, gadis manis, ceria, dan tulus hatinya. Selalu menulis sajak kecil buat lo, yang berharap suatu saat nanti lo bakal membalas cintanya". Dika terdiam tak percaya, memandang kotak kecil yang kini berpindah ketangannya.
Dika pergi menuju kesebuah pemakaman, Dika terisak disamping pusaran. Dika memeluk nisan yang bertuliskan nama Keyra Amalita, bidadari penolongnya. Hujan yang mengguyur tak ia hiraukan, Dika memandang nisan berwarna putih itu dan mendekapnya erat, erat sekali. Kemudian Dika kembali memandang secarik kertas lusuh digenggamannya.
Cinta hanya ilusi, yang terbang bersama satu mimpi, berharap sebuah keabadian. Namun sebenarnya cinta adalah sebentuk pengorbanan yang nyata, berakar dari segenggam hati dan tercipta untuk satu jiwa yaitu kamu.
SELESAI