Rabu, 03 Juli 2013

SGB Menyerangku

Aku ingat, pada hari sabtu pagi ketika aku bangun tidur, aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku yang sedikit kurang fit, telapak tangan dan kakiku terasa tebal seperti kesemutan. Aku bingung kenapa dengan diriku, namun tidak aku hiraukan, mungkin karena efek cuaca musim hujan 'fikirku'.
   Aku memaksakan diri untuk tetap beraktifitas, bekerja sebagai waitress disebuah restaurant yg baru launching beberapa bulan yang lalu. Aku terpaksa membagi waktuku untuk bekerja dan kuliah karena ada sedikit masalah keuangan saat itu. Aku masih tercatat sebagai Mahasiswa semester akhir disalah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) Palembang. Karena kuliahku kini hanya tinggal skripsi makanya aku memilih untuk mencari pekerjaan sampingan, berhraap sedikit demi sedikit masalahku dapat terselesaikan dan aku segera diwisuda. Semakin aku memaksakan diri untuk beraktifitas tubuhku semakin lemah serta mudah lelah, kesemutan pada telapak tangan dan kakiku yang kurasakan pagi tadi pun tak kunjung membaik. Tapi, aku tetap berusaha kuat hingga jam kerja selesai nanti, dan itupun berhasil. Aku langsung pulang kerumah dan tiba dirumah pukul 18.30 Wib. Aku masuk kamar dan langsung tidur, berharap keesokan hari diawal pagi tubuhku kembali bugar.
   Namun, apa yang terjadi ! Tidak seperti harapanku, tubuhku makin parah terasa berat rasanya tidak ada tenaga sama sekali. Aku mulai berfikir, sepertinya aku harus istirahat full hari ini, kucoba meraih handphone untuk sekedar mengetik SMS, mengabarkan bahwa aku terpaksa tidak masuk kerja karena sakit kepada pegawai yang shif pagi hari ini. Aku menghabiskan waktuku hanya tidur dirumah, tidak nyaman rasanya tubuhku makin tidak menentu, dan kuputuskan untuk berobat. Akhirnya aku pergi bersama Ayah, malam itu aku diperiksa oleh mantri dan diberi suntikan dua jarum serta obat. Pak mantri mengdiagnosa bahwa aku “lumpuh layu”, kasus yang sama pernah dialami oleh pasiennya dan dapat sembuh dirawat sekitar satu bulan.
   Keesokan harinya, tubuhku tak juga baik masih sama seperti semula hanya saja kesemutan pada telapak tangan dan kakiku tak lagi kurasakan tetapi, kenapa tubuhku lemah sekali, untuk berjalan terasa melayang-layang seperti orang mabuk yang selesai menengak alkohol, begitu juga dengan tanganku yang ikut melemah bahkan untuk memegang gelaspun aku kewalahan. Hari berikutnya, aku makin tak kuasa untuk beranjak dari tempat tidurku, kaki dan tanganku tak bisa ku gerakan, ada keinginan untuk mengangkat kedua tanganku namun tak ada respon motorik pada tanganku. Spontan aku berteriak memanggil ibuku, saat kulontarkan satu kata “buk” rasanya sulit sekali, dan terdengar tidak jelas vokal kata yang keluar dari bibirku. Entahlah… apa yang terjadi padaku, seketika air mataku menetes tak kuasa menahan pilu, hatiku terus bicara “ya… Allah cobaan apa lagi ini?”, tentu saja kedua orang tuaku panik, melihat kondisi putrinya yang tergeletak tak berdaya ditempat tidur. Pagi itu Ayah menghampiri Pak mantri yang menyuntikku, ada kesalahan apa pada suntikan itu, karena terakhir aku disuntik ketika aku duduk dikelas 3 Sekolah Dasar saat ada suntik cacar secara masal disekolah. Ayahpun pulang bersama Pak mantri karena melihat kondisiku yang lemah akhirnya aku diinfus dan ini adalah pertama kalinya aku merasakan jarum infus menempel dilenganku.
    Hampir satu minggu aku menghabiskan 10 botol infus, namun tetap tak ada perubahan apapun. Ayah yang bingung dan kehabisan cara melihat kondisiku memburuk, keesokan harinya aku dilarikan kerumah sakit, agar jelas penyakit apa yang sedang kuderita.
    SGB (Sindrom Guillain Barre) sangat asing ditelinga ku, ketika Dokter mengdiagnosa penyakitku. Hatiku ikut bicara, “Apa itu SGB? Penyakit apa”? Seketika aku ingat pada dosa, aku telah lalai menjalankan perintah sebagai hamba Allah, aku tidak berharap hidupku berakhir, usiaku belum genap seperempat abad namun aku harus jalani penyakit ini, penyakit yang menyerangku. Aku drop saat Dokter bicara tentang SGB pada Ayahku, hancur sudah perasaanku lebih hancur dari yang pernah kurasakan ketika patah hati.


to be continue
    Deritaku tidak hanya itu saja, aku terpaksa dirawat diruangan NHCU, ruangan khusus untuk pasien yang kritis dan memerlukan perawatan intensif. Aku bertambah tak percaya ketika tubuhku harus dipasang alat monitor jantung oleh perawat, hatiku bertanya-tanya “separah inikah sakitku”. Dan yang lebih membuatku pilu adalah ruangan ini, ruangan dimana aku merasa tidak nyaman. Ada beberapa pasien disekitarku dan semuanya tidak sadarkan diri, yang menambah kacau fikiranku, aku sendirian disini karena ruangan ini khusus hanya untuk pasien, tidak ada keluarga yg boleh masuk kecuali jam besuk pasien. Menyiksa sekali ruangan ini, aku tidak bisa tidur setiap malam sering aku terbangun dan bertanya sendiri dalam hati “jam berapa ini? Kapan pagi datang”. Kenapa terasa lama sekali waktu berputar.
 5 hari aku berada diruang NHCU dan akhirnya saat yang aku tunggu tiba juga yaitu pindah keruang rawat inap tepatnya ruang syaraf non bedah. Huuh,, sedikit lega rasanya, setidaknya aku ditemani oleh ibu tersayang. Aku bahagia ibu merawat anaknya dengan penuh kasih, aku menjadi anak yang sangat beruntung memilik seorang ibu yang sabar, beliau rela melepaskan pekerjaan dan kesibukan sehari-harinya dirumah untuk menemani, merawat, dan menjagaku. Ibu rela tidur dilantai yang hanya beralaskan helaian karpet sekalipun keadaan ibu sedang tidak fit. Aku sadar selama hidup tidak ada yg bisa membuat ibu bangga akan diriku, aku sering membuat ibu kesal entah berapa banyak dosaku pada ibu tapi, disaat aku sekaratpun ibu masih perhatian. Ternyata memang benar pepatah yang berkata "kasih ibu sepanjang masa". Lebih dari 2 minggu aku disini Rumah sakit yang membosankan, tanpa hiburan ataupun teman. Tiba-tiba tikiranku tak terarah kemana mereka yang mengaku teman baikku, mereka yang mengaku sayang padaku, tidak satupun ada yang muncul. Tapi, aku tidak harus menyalahkan mereka, mungkin saat ini aku harus lebih sabar terhadap keadaan yang harus memaksaku untuk menerima sakit ini.
 Pagi itu aku harus terapi, yaaa… ini adalah hari pertama aku terapi dan juga pertama aku keluar ruangan senang rasanya kini aku melihat langit kembali, tak henti aku berucap syukur dalam hati walaupun aku harus terbaring karena sakit yang kuderita belum sembuh. Akhirnya aku, ibu dan perawat tiba diruangan terapi, namun kami harus sabar menunggu giliran. Tempat ini sesak penuh dengan orang-orang sakit dan berbagai keluhan, mereka sibuk dengan perannya masing-masing. Heem.. Aku iri pada mereka, mereka yang jasmaninya sehat sehingga dapat bebas beraktifitas. Seharusnya aku bisa seperti mereka bekerja, kuliah, hangout ke mall, shoping, karaoke, ngumpul sama teman dan aktifitas lainnya keluhku. Semakin otakku berfikir, semakin banyak keluhanku, khayalanku berhenti sejenak ketika pandanganku dimanjakan oleh wajah yang rupawan. "Subhanallah.. Mirip sekali?" aku berbisik dalam hati. Dia begitu mirip dengan seseorang yang selama satu tahun lebih namanya terukir dihatiku, seseorang yang membuat aku optimis meski dia tak pernah menoleh kearahku. Aku menatapnya yaa.. Hanya bisa menatapnya dari kejauhan dan memperhatikan kegiatannya sebagai pegawai psioterapi rumah sakit.

Bersambung...

Tidak ada komentar: