Arman
masih saja mencariku, ia selalu mendesak dengan berbagai cara, agar aku segera
memberi jawaban atas perasaannya padaku.
“Den, Arman nyari lo
tuh?” tanya Lisa padaku.
“Ah, bilang aja gue lagi sibuk.” perintahku pada Lisa.
“Kalian aneh deh, satu kantor tapi main kucing-kucingan.” Lisa berlalu dari ruanganku.
“Ah, bilang aja gue lagi sibuk.” perintahku pada Lisa.
“Kalian aneh deh, satu kantor tapi main kucing-kucingan.” Lisa berlalu dari ruanganku.
Aku
tahu ini memang konyol, entah berapa banyak lagi laki-laki yang akan
mencari-cari keberadaanku. Aku seperti koruptor cinta saja yang harus siap
siaga menghindari rentenir penagih hutang. Aku tidak merasa pernah mengumbar
cinta pada mereka. Mereka seakan menghampiriku seperti lalat yang menghinggapi
makanan, tanpa harus diundang mereka datang dengan sendirinya.
“Den...” Lisa kembali
masuk ruanganku.
“Apa lagi Lisa, bilang aja sama Arman gue lagi nggak mau diganggu!” ucapku kesal.
“Bos, manggil lo tuh.” jelas Lisa.
“Hah, editing lagi.” keluhku.
“Apa lagi Lisa, bilang aja sama Arman gue lagi nggak mau diganggu!” ucapku kesal.
“Bos, manggil lo tuh.” jelas Lisa.
“Hah, editing lagi.” keluhku.
Kini
aku telah sampai tepat didepan ruangan bos, aku mengatur napas sembari
merapikan penampilanku dan mulai memasuki ruangan.
“Permisi Pak?”
“Iya, silakan,”
“Maaf Pak, ada apa ya?”
“Begini, ada tawaran menarik untuk kamu,”
“Tawaran... Tawaran apa ya Pak?”
“Kamu akan saya promosikan sebagai Manager Directing,,,”
“Iya, silakan,”
“Maaf Pak, ada apa ya?”
“Begini, ada tawaran menarik untuk kamu,”
“Tawaran... Tawaran apa ya Pak?”
“Kamu akan saya promosikan sebagai Manager Directing,,,”
Aku
tersenyum kecil, jabatan Manager
Directing merupakan mimpi besarku. Ini kesempatan emas untuk karirku.
“,,,dengan syarat kamu harus mampu menulis artikel tentang cerita cinta anak SMA”.
“,,,dengan syarat kamu harus mampu menulis artikel tentang cerita cinta anak SMA”.
'Jleeebb...'
semangatku down seketika saat
menyimak kalimat terakhir bos. Cerita cinta., mana mungkin aku bisa menulis
itu. Kisah cinta adalah kelemahan terbesarku, aku saja sudah lupa kapan
terakhir jatuh cinta, setelah patah hatiku beberapa tahun yang lalu.
“Den, ada undangan
makan malem nih dari Kevin. Terus nge-date
dari Jody”
“Buat lo aja,”
“Males banget,” Lisa mengernyitkan dahinya.
“Lagian, mereka ngga bosen apa yach. Udah gue cueki juga,”
“Yaelah,,, namanya juga usaha Den”.
“Buat lo aja,”
“Males banget,” Lisa mengernyitkan dahinya.
“Lagian, mereka ngga bosen apa yach. Udah gue cueki juga,”
“Yaelah,,, namanya juga usaha Den”.
Cinta...?
Apa itu cinta, semua orang beragumentasi seakan memberi gambaran bahwa cinta
sangatlah indah tapi, sebenarnya apa itu cinta?
Cinta
itu proses untuk bisa saling mengerti dan memahami satu sama lain. Jika kita
tidak mengerti maka kita tidak dapat memahami, dan jika kita bisa memahami belum
tentu kita dapat mengerti.
Aku
membaca artikel terbitan bulan lalu yang ditulis oleh Arman. Priat itu seakan
punya sejuta cinta dihatinya. Arman begitu pandai mendeskripsikan bahasa cinta
mengalir dalam sebuah tulisan.
Aku
mencoret-coret note agenda harianku.
Semua taman terlihat kotor oleh kertas-kertas lusuh yang aku lempar sesuka
hati. Aku bingung harus menulis dari mana, tak ada ide bahkan imajinasi
dibenakku.
“Dena...”
teriak seseorang.
Aku
menolehkan pandanganku dan ternyata sudah ada Arman yang menghampiriku.
“Ngapain disini?” tanya Arman
“Lagi cari ide” jawabku jutek
“Dikasih tema apa sama bos?” tanya Arman lagi
“Kepo banget sih lo” jawabku makin jutek
“Mau sampe kapan kamu giniin aku terus, Den.”
“Ngapain disini?” tanya Arman
“Lagi cari ide” jawabku jutek
“Dikasih tema apa sama bos?” tanya Arman lagi
“Kepo banget sih lo” jawabku makin jutek
“Mau sampe kapan kamu giniin aku terus, Den.”
Aku
menatap mata Arman dengan lekat, ada sejuta tanya yang tersimpan dimatanya atas
sikapku padanya selama ini. Namun bisa apa aku, hatiku telah lama mati. Hanya
ada duka tersimpan yang kini berselimut luka.
“Sorry, gue duluan” aku buru-buru pergi
“Dena, tunggu dulu,” jegah Arman
“Apa lagi sih”
“Kita perlu bicara?” pinta Arman
“Udahlah lupain aja” jawabku santai
“Tapi Den,,,”
Aku pergi meninggalkan Arman sendiri.
“Den,,, Denaaa...”
“Dena, tunggu dulu,” jegah Arman
“Apa lagi sih”
“Kita perlu bicara?” pinta Arman
“Udahlah lupain aja” jawabku santai
“Tapi Den,,,”
Aku pergi meninggalkan Arman sendiri.
“Den,,, Denaaa...”
Aku
memang keras kepala dan egois, Arman begitu baik padaku. Hanya Arman yang dapat
mengerti aku.
*****
“Den, gimana tulisan lo
udah jadi?”
“Ah, gue nyerah aja Lis.”
“Lho, kenapa?”
“Gue nggak mampu nulis. Padahal udah research.”
“Tapi, saingan lo...”
“Siapa?” tanyaku heran
“Emm, Arman.”
“Ah, gue nyerah aja Lis.”
“Lho, kenapa?”
“Gue nggak mampu nulis. Padahal udah research.”
“Tapi, saingan lo...”
“Siapa?” tanyaku heran
“Emm, Arman.”
Aku
seakan tak percaya, Arman menjadi sainganku untuk jabatan manager directing. Sepertinya aku akan kalah karena aku memang tidak
mampu menulis dengan tema cerita cinta.
“Udah yang penting
tulis aja dulu.” Lisa menyemangatiku.
“Iya deh, gue coba.”
“Iya deh, gue coba.”
Aku
duduk sembari menatap segelas chapucino
hangat tersaji dimeja kantin. Aku mulai berfikir kenapa hatiku seakan beku,
setelah Bram meninggalkanku demi wanita lain. Rasanya ini tidak adil, untuk
orang yang tulus mencintaiku apa adanya seperti Arman. Aku terlalu menutup hati
karena takut terluka lagi. Selama ini hanya Arman yang mengerti keluh kesahku,
Arman yang menjadi tempat curahan hatiku. Arman telah menunjukkan pribadi yang
baik sebagai seorang sahabat. Sedangkan aku, aku berubah sikap menjadi sinis
hanya karena Arman mengakui perasaannya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan
perasaan Arman padaku, Arman punya hak untuk mencintai siapapun, termasuk aku.
Aku
sudah siap dengan amplop putih ditanganku yang berisi surat pernyataan.
“Lo serius Den?” tanya
Lisa ragu.
“Iya Lisa, gue siap.”
Tiba-tiba Arman menghampiri aku dan Lisa yang sedang berdiri didepan pintu ruang bos.
“Kalian ngapain disini?” tanya Arman.
“Bukan urusan lo.” jawabku cuek.
“Dena mau nyerahi surat pernyataan sama Pak bos.” ucap Lisa
“Surat apa?” tanya Arman heran
“Gue mau resign.” jawabku singkat
“Serius Den, kenapa? Apa karena kamu nggak mau saingan sama aku. Aku siap mundur demi kamu tapi, jangan pernah berfikir untuk resign.” jelas Arman
“Iya Lisa, gue siap.”
Tiba-tiba Arman menghampiri aku dan Lisa yang sedang berdiri didepan pintu ruang bos.
“Kalian ngapain disini?” tanya Arman.
“Bukan urusan lo.” jawabku cuek.
“Dena mau nyerahi surat pernyataan sama Pak bos.” ucap Lisa
“Surat apa?” tanya Arman heran
“Gue mau resign.” jawabku singkat
“Serius Den, kenapa? Apa karena kamu nggak mau saingan sama aku. Aku siap mundur demi kamu tapi, jangan pernah berfikir untuk resign.” jelas Arman
Arman
seakan tak ingin aku jauh darinya. Aku memang sering mendapati Arman curi-curi
pandang memperhatikanku dikantor. “Ah, berisik lo.” ucapku sembari pergi
meninggalkan Arman dan Lisa. Aku kembali kemeja kerjaku. Aku memang tidak bisa
menulis secara profesional. Aku menulis sesuai hatiku saja tapi, menulis adalah
pekerjaanku. Aku wajib untuk menulis.
*****
Seminggu
kemudian, ini adalah penentuan siapa yang akan layak ditempatkan pada posisi manager directing. Aku sudah berusaha
semaksimal mungkin menulis, walaupun mengalami beberapa hambatan. Aku mampu
menyelesaikan tulisan dengan waktu yang tersisa dari deadline yang diberikan. Aku menulis semampuku meski tidak sebagus
tulisan Arman, hingga menghantarkannya resmi menjadi manager directing.
Walaupun
kini aku hanya patner menulis Arman,
setidaknya aku bisa mengerti apa itu cinta. Cinta Arman memberikan inspirasi
baru dalam menulis. Aku melihat perjuangan Arman mengejar cintaku, dan seperti
itulah aku mencintai menulis. Ketika kita sudah memulai menulis, maka
tuntaskanlah sampai akhir. Seperti itulah kecintaanku terhadap dunia menulis.
Arman
menghampiriku yang saat ini berada di taman sekitar kantor. Arman sangat paham
dimana tempat aku singgah disaat seperti ini. Kini Arman telah duduk
disampingku. Aku segera menyapu buliran kecil dipipiku, efek dari hasil
penetuan bos.
“Aku minta maaf Den.”
Aku tersenyum mendengar pernyataan Arman, ini sudah kesekian kalinya Arman memohon maaf.
Aku tersenyum mendengar pernyataan Arman, ini sudah kesekian kalinya Arman memohon maaf.
“Selamat ya, Arman
Septama.” aku mengulurkan tanganku, Arman seakan tak percaya melihat sikapku
saat ini, lalu dengan segera Arman menyambut jemariku.
“Aku tahu, aku salah sama kamu Den. Aku...”
“Sssttt...” aku menyentuh bibirnya dengan ibu jariku, isyarat agar Arman tidak lagi menyalahkan dirinya.
“Cinta itu hak semua orang dan lo berhak punya perasaan itu. Kamu tidak perlu menyalahkan diri lo.”
“Den, ada baiknya kamu nggak perlu jadi patner kerjaku lagi.”
“Iya, gue udah fikiri itu Ar, mungkin lusa gue akan mengundurkan diri.”
“Kalau kamu nggak keberatan. Aku mau kamu jadi patner hidupku Den, menjadi seorang ibu untuk anak-anakku, menghabiskan waktu menua bersama. Selamaya...”
“Aku tahu, aku salah sama kamu Den. Aku...”
“Sssttt...” aku menyentuh bibirnya dengan ibu jariku, isyarat agar Arman tidak lagi menyalahkan dirinya.
“Cinta itu hak semua orang dan lo berhak punya perasaan itu. Kamu tidak perlu menyalahkan diri lo.”
“Den, ada baiknya kamu nggak perlu jadi patner kerjaku lagi.”
“Iya, gue udah fikiri itu Ar, mungkin lusa gue akan mengundurkan diri.”
“Kalau kamu nggak keberatan. Aku mau kamu jadi patner hidupku Den, menjadi seorang ibu untuk anak-anakku, menghabiskan waktu menua bersama. Selamaya...”
Aku
menatap wajah Arman dengan sejuta rona bahagia. Moment ini adalah hal romantis yang pernah aku dapatkan dalam
hidup. Arman tak hanya pandai menulis artikel tentang cinta tapi, Arman juga
sangat pandai meluluhkan hatiku dengan sejuta kata cinta. Arman mulai meraih
tanganku, lalu mengecup jemariku, kemudian berkata
“Will you marry me, Dena Amalita?”
Aku
semakin terpesona dibuatnya, ini adalah saat-saat yang pernah aku impikan. Aku
yakin Arman tulus dan akan membuatku bahagia dimasa depan hingga akhir hayat.
“Yes I will, Arman Septama.”
SELESAI
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar